Sahabat Intrans Publishing,


Karya Kelompok Intrans Publishing
Setara
Intrans
Madani
Beranda
Empat Dua
Selaksa

Jumat, 13 Oktober 2017

Perlukah Pajak Bagi Industri Perbukuan

Acara FGD yang diselenggarakan oleh LIPI di Hotel Ibis Styles Kota Malang
      Pajak merupakan sumber utama pendapatan negara, sebagaimana tahun 2016 tercatat mencapai 80 persen lebih dari total keseluruhan pendapatan pemerintah. Ini artinya peran pajak sangatlah penting, tanpa adanya kontribusi pajak pemerintahan tidak akan berjalan dengan baik dalam membangun sebuah negara.

Dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Hal ini dapat menjadi kesadaran kita semua sebagai warga negara bahwa perlunya pajak bagi negara untuk kepentingan kemakmuran rakyat. Dan tidak lain akan kembali kepada diri kita semua dalam bentuk fasilitas dan layanan yang lebih baik, seperti; pembangunan sekolah, perpustakaan, jalan-jalan, jembatan, rumah sakit atau puskesmas, dan tempat-tempat ibadah.

Sebagi wujut kesadaran kita semua atas pentingnya pajak maka kita harus taat dan teratur dalam membayar pajak, dan khusus bagi pegawai pajak jangan sampai melakukan hal-hal yang merugikan negara seperti korupsi dan pembebasan pajak.

Membicarakan persoalan pajak, belakangan ini kita disuguhkan berita-berita tentang perlunya peniadaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas semua buku. Polemik PPN atas buku ini berawal dari kasus Tere Liye yang menyatakan akan berhenti menulis karena dinilai pajak yang dibebankan kepada penulis terlalu tinggi. Berbagai dialog pun akhirnya digelar baik ditingkatan Kementerian Keuangan, Ditjen Pajak, Penerbit dan Penulis.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerjasama dengan Badan Ekonomi Kreatif Indonesia (BEKRAF) juga menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Kajian Usulan Insentif Pajak Penerbitan Buku” bersama beberapa penerbit, penulis, toko buku, dinas pendidikan dan kebudayaan dan perpustakaan yang diselenggarakan pada tanggal 13 November 2017 di Hotel Ibis Styles di Kota Malang. Penerbit Intrans Publishing pun turut hadir sebagai pemateri yang membicarakan tentang seluk beluk usaha penerbitan dari hulu sampai hilir.

“Pemerintah sampai saat ini masih menilai bahwa penerbitan buku sama posisinya seperti usaha besi. Insentif pajak untuk usaha penerbitan buku tidak ada sama sekali” ujar Direktur Intrans Publishing Luthfi J. Kurniawan dalam penyampaiannya di forum FGD.

Kebijakan Pemerintah dalam hal ini melalui Kementerian Keuangan memang sudah mengeluarkan peraturan No 122 Tahun 2013 tentang pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk buku-buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku-buku pelajaran agama. Akan tetapi kebijakan ini ternyata tidak gampang dilakukan oleh penerbit dalam memperoleh pengakuan bebas pajak, seperti contoh penerbit Intrans Publishing sudah beberapa kali mengajukan permohonan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPN tapi tidak berhasil, padahal mayoritas buku yang diproduksi adalah buku-buku pelajaran umum perguruan tinggi (baca: Keputusan kementerian Keuangan no. 353/kmk.03/2001 tentang pengertian Buku Pelajaran Umum).

Hesty Puspitosari sebagai wakil direktur Intrans Publishing mengatakan “Kami sudah mengajukan ke Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional dan Kantor Pajak setempat akan tetapi kesemuanya tidak merespon dengan alasan macam-macam, sedangkan pihak toko buku tidak berani memberikan keterangan bebas pajak dalam laporan penjualan dikarena tidak adanya SKB PPN”.

Persoalan ini menunjukan bahwa pemerintah belum menujukkan peran secara menyeluruh sampai tingkat bawah. Padahal kita semua tahu bahwa eksistensi pajak didasari oleh keadilan, Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nation “ The Four Maxims” menyebutkan bahwa perlunya Equality and Equity artinya pajak harus adil dan merata (baca; buku Perpajakan karya Rismawati Sudirman). Apabila suatu kebijakan sudah ditetapkan mestinya semua elemen yang diberi wewenang dan tanggung jawab harus melaksanakannya dan melayani dengan baik, guna terciptanya pemerintahan yang adil bagi masyarakat.

“Penerbit adalah usaha industri keilmuan dalam bentuk buku, pemerintah tentunya dapat menilai sejauh mana pentingnya antara Pajak yang dibebankan dan Buku” kata Luthfi J. Kurniawan.

Sejatinya pajak diperuntukkan guna kemakmuran masyarakat, sedangkan buku menjadi salah satu alat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dan keduanya terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi hak setiap warga negara. Oleh karena itu pemerintah harus serius dalam menelaah seluruh aspek ekosistem yang berada di industri perbukuan mulai dari bahan baku kertas, percetakan, penulis, penerbit sampai jalur distribusi buku. Agar dapat menilai perlu dan tidaknya penghapusan PPN bagi seluruh buku.

Dalam akhir diskusi FGD tentang “Kajian Usulan Insentif Pajak Penerbitan Buku” ini  Lutfi J. Kurniawan menyampaikan “Data ini harus menjadi data “HIDUP”, jangan sampai hanya menjadi tumpukan arsip yang tersimpan dalam rak”.

Dengan adanya FGD yang diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bersama Badan Ekonomi Kreatif Indonesia (BEKRAF) ini, berharap menjadi rumusan kebijakan pemerintah kedepan dalam meningkatkan kecerdasan masyarakat.