Sahabat Intrans Publishing,


Karya Kelompok Intrans Publishing
Setara
Intrans
Madani
Beranda
Empat Dua
Selaksa

Kamis, 02 Februari 2012

Hukum dan Keadilan Masyarakat: Perspektif Kajian Sosiologi Hukum


| Umar Sholahudin | Kamis, 26 Januari 2012 |

Lihat Katalok Buku ini
“keadilan tidak ada kaitannya dengan apa yang terjadi di ruang sidang; keadilan itu datang dari luar ruang sidang pengadilan” (Clarence Darrow,1857-1938/pengacara asal USA). Keadilan diruang sidang hanya bersifat formalistic, proseduralistik, dan berpotensi sarat manipulatif dan kolusi, Saatnya hadirkan keadilan yang lebih substantif yang didasarkan pada nurani dan moralitas kemanusiaan, bukan pada pasal-pasal yang kaku (rigid). Jadilah yuris yang progresif dan responsif terhadap nurani keadilan masyarakat.

Bagaikan mencari jarum dalam sekam. Mungkin itu pepatah yang sangat pas untuk menggambarkan bagaimana sulitnya masyarakat miskin mendapatkan akses keadilan hukum di negeri ini. Masyarakat miskin kerapkali menjadi korban dari penegakkan hukum yang tidak adil. Kita mendengar anecdot sosial yang berkembang dan menjadi pembicaraan di tengah kehidupan masyarakat terkait dengan penegakkan hukum atas masyarakat miskin ini; “ jika si miskin melaporkan kasus pencurian ayam ke pihak keplisian, maka ia akan kehilangan sapi”. Pernyataan ini  tentunya menohok praktik penegakkan hukum di negeri ini.
Dalam realitasnya, masyarakat miskin begitu mudah menjadi korban ketidakadilan hukum di Indonesia. Proses penegakkan hukum seringkali melahirkan ketidakadilan hukum. Dan ketidakadilan hukum ini bersumber dari bekerjanya hukum dalam sebuah sistemnya. Ketika hukum dilepaskan dari konteks sosialnya, maka hukum akan jauh dari rasa keadilan masyarakat. Dan inilah yang sekarang sedang menjadi sorotan masyarakat luas. Aparat penegak hukum melihat dan memahami kasus hukum hanya pada teks-teks “kaku” yang ada dalam aturan perundang-undangan semata, tanpa berusaha memahami kasus hukum tersebut dalam konteks sosialnya.
Setelah kasus ketidakadilan hukum menimpa warga miskin Mbah Minah dengan Kakaonya di Cilacap, Basar-Kholil dengan Semangkanya di Kediri, Ibu Amirah (30), seorang pembantu rumah tangga dengan sarungnya di Pamekasan, dan kini kasus menimpa seorang siswa SMKN 3 Palu berinisial AAL. AAL, seorang anak dibawah umur (15) dituduh mencuri sepasang sandal jepit milik seorang anggota Brimob Polda Sulteng. Sebelum kasus itu dibawa kepengadilan, AAL di duga mendapat perlakuan kekerasan dari oknum polisi tersebut. Dalam persidangan, AAL terancam hukuman 5 tahun penjara.
Seperti biasa kasus sepele ini langsung mendapat reaksi keras dari berbagai elemen masyarakat. Sebagai bentuk solidaritas terhadap “ketidak adilan terhadap AAL”, masyarakat diberbagai daerah mengumpulkan 1000 sandal jepit yang akan diberikan kepada Polri sebagai pengganti sandal oknum yang diambil AAL. Untuk kesekiankalinya pihak kepolisian sepertinya tidak belajar dari kasus-kasus hukum sepele yang menimpa anak-anak atau masyarakat miskin sebelumnya yang mendapat reaksi keras dari masyarakat luas.  Paradigma berhukum aparat penegak hukum kita masih sangat konservatif, berkutat pada aspek legal-formal, legalistik-positivistik semata, tanpa mempertimbangkan akal sehat dan nurani. Untuk memahami dan menganalisis secara komperhensif kasu-kasus hukum yang menimpa kaum marginal (orang miskin, usia lanjut dan anak) diatas, sangat tepat jika kita membaca buku Hukum dan Keadilan Masyarakat; Perspektif Kajian Sosiologi Hukum ini.
Buku ini merupakan hasil penelitian penulis untuk kepentingan menyelesaikan studi Magister (S-2)  Sosiologi di Program Pascasarjan FISIP Universitas Airlangga Surabaya. Penelitian ini mengangkat tema yang saat ini sedang menjadi sorotan publik, yakni masalah Hukum dan Keadilan. Buku ini membahas tentang hukum dan Keadilan Masyarakat Prespektif kajian Sosiologi Hukum. Sebagai negara hukum (rechstaat), Indonesia saat ini sedang dihadapkan pada persoalan hukum dan keadilan masyarakat yang sangat serius. Hukum dan keadilan masyarakat seolah seperti dua kutub yang terpisah, tidak saling mendekat. Kondisi ini tentu saja bersebrangan dengan dasar filosofis dari hukum itu sendiri, dimana, hukum diahirkan tidak sekedar untuk membuat tertib sosial (sosial order), tetapi lebih dari itu, bagaimana hukum dilahirkan dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.
Buku ini bertujuan untuk memahami dan menganalisis kasus hukum yang menimpa masyarakat miskin, dalam pespektif sosiologi hukum. Selain itu juga untuk menghadirkan penjelasan secara utuh terhadap problematika huku yang akhir-akhir ini sedang marak dihadapi masyarakat miskin. Adapun kasus hukum yang diangkat dalam buku ini adalah kasus pencurian suatu buah semangka yang dilakukan buruh tani miskin, yakni Bashar-Kholil yang terjadi di kota kediri pada akhir tahun 2009.
Tema ini penting diangkat karena, Pertama, karena kasus ketidakadilan yang menimpa masyarakat miskin-termasuk kasus Basar-Kholil saat ini sedang dan terus menjadi fenomena dan sorotan tajam dari masyarakat dan media massa, baik cetak maupun elektronika. Publikasi yang begitu massif atas kasus-kasus ketidakadilan hukum yang menimpa masyarakat miskin telah mendapat aksi solidaritas, simpatik dan empatik dari masyarakat luas. Berbagai aksi lintas sosial terus mewarnai proses hukum terhadap masyarakat miskin.
Kedua, selama ini berbagai kajian dan penelitian terkait dengan kasus hukum yang terjadi di masyarakat, terutama yang menerima kelompok masyarakat miskin, lebih banyak menggunakan pendekatan yuridis-normatif, yakni pendekatan yang berbasis pada apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Sementara pendekatan sosiologi hukum masih sangat minim. Dalam pandangan para sosiolog hukum, pendekatan yuridis-normativ tidak cukup memadai untuk menjelaskan realitas sosio-yuridis yang terjadi di tengah masyarakat, seperti halnya kasus pencurian yang menimpa dua buruh tani miskin tersebut. Pendekatan sosiologi hukum berusaha untuk menghubungkan hukum dengan keadaan masyarakatnya (Rahardjo, 2010:4).
Ketiga, karena adanya pemahaman yang kurang komprehensif dari aparat penegak hukum kita dalam melihat dan menangani kasus hukum yang menimpa kelompok masyarakat miskin. Para aparat penegak hukum kita lebih bersandar pada pemahaman dan penerapan hukum normative tertulis saja, tanpa mempertimbangkan hukum sosiologis. Apalagi pemahaman hukum positivistik-legalistik ini diwarnai intervensi kekuatan politik-kekuasaan dan ekonomi. Ini yang kemudian melahirkan praktik diskriminasi hukum yang begitu massif yang terjadi di tengah masyaraklat kita. Dan masyarakat miskin terus menjadi korban hukum yang dirancang oleh kelompok tertentu yang memiliki akses politik-kekuasaan dan ekonomi. Pemahaman hukum secara sosiologis atau kasus hukum yang menimpa masyarakat miskin akan lebih mendekatkan pada lahirnya keadilan subtantif, yakni keadilan didasarkan pada moral dan kemanusiaan publik.
Menurut Zudan Arif Fakrullaoh dalam tulisannya Penegakkan Hukum sebagai Peluang Menciptakan Keadilan (2005:26), mengatakan, berlakunya hukum ditengah-tengah masyarakat, mengemban tujuan untuk keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan dan pemberdayaan sosial bagi masyarakat. Untuk menuju pada cita-cita pengadilan sebagai pengayom bagi masyarakat, maka pengadilan harus senantiasa mengedepankan empat tujuan hukum diatas dalam setiap putusan yang dibuatnya. Hal ini sejalan dengan apa yang menjadi dasar berpijaknya hukum yaitu “hukum untuk kesejahteraan masyarakat”.
Hukum yang lebih substansial, bukanlah hukum yang beroperasi dalam pasal-pasal yang sangat kaku, dan eksklusif. Hukum dalam prespektif sosiologis adalah hukum yang bergerak dan beroperasi dalam dinamikanya yang aktual dan faktual dalam sebuah jaringan sosial-kemasyarakatan. Hukum sosiologis lahir, hidup, dan berkembang dalam jaringan sosial masyarakat yang kompleks. Dan hukum sosiologis memiliki varian mekanisme sosio-yuridis dalam menyelesaikan berbagaia konflik sosial yang muncul dalam masyarakat.
Ditengah keterpurukan praktek berhukum di negara Indonesia yang mewujud dalam berbagai realitas ketidakadilan hukum, terutama yang menimpa kelompok masyarakat miskin, sudah saatnya kita tidak sekedar memahami dan menerapkan hukum secara legalistic-positivistic, yakni cara berhukum yang berbasis pada peraturan hukum tertulis semata (rule bound), tetapi perlu melakukan terobosan hukum yang dalam istilah S`tjipto Raharjo (2008), disebut sebagai penerapan hukum progresif. Dan salah satu aksi progresivitas hukum, adalah berusaha keluar dari belenggu atau penjara hukum yang bersifat positivistik dan legalistik. Dengan pendekatan yuridis-sosiologis, diharapkan-selain akan memulihkan hukum dari keterpurukannya, juga yang lebih riil, pendekatan yuridis-sosiologis diyakini mampu menghadirkan wajah keadilan hukum dan masyarakat yang lebih substabtif. 

Related Post