Selasa, 17 April 2018
Jumat, 13 Oktober 2017
Perlukah Pajak Bagi Industri Perbukuan
Acara FGD yang diselenggarakan oleh LIPI di Hotel Ibis Styles Kota Malang |
Dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2007
pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi
atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Hal ini dapat menjadi kesadaran kita
semua sebagai warga negara bahwa perlunya pajak bagi negara untuk kepentingan
kemakmuran rakyat. Dan tidak lain akan kembali kepada diri kita semua dalam
bentuk fasilitas dan layanan yang lebih baik, seperti; pembangunan sekolah,
perpustakaan, jalan-jalan, jembatan, rumah sakit atau puskesmas, dan
tempat-tempat ibadah.
Sebagi wujut kesadaran kita semua atas
pentingnya pajak maka kita harus taat dan teratur dalam membayar pajak, dan
khusus bagi pegawai pajak jangan sampai melakukan hal-hal yang merugikan negara
seperti korupsi dan pembebasan pajak.
Membicarakan persoalan pajak, belakangan
ini kita disuguhkan berita-berita tentang perlunya peniadaan pajak pertambahan
nilai (PPN) atas semua buku. Polemik PPN atas buku ini berawal dari kasus Tere Liye yang
menyatakan akan berhenti menulis karena dinilai pajak yang dibebankan kepada
penulis terlalu tinggi. Berbagai dialog pun akhirnya digelar baik ditingkatan
Kementerian Keuangan, Ditjen Pajak, Penerbit dan Penulis.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) bekerjasama dengan Badan Ekonomi Kreatif Indonesia (BEKRAF) juga
menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Kajian Usulan
Insentif Pajak Penerbitan Buku” bersama beberapa penerbit, penulis, toko buku,
dinas pendidikan dan kebudayaan dan perpustakaan yang diselenggarakan pada
tanggal 13 November 2017 di Hotel Ibis Styles di Kota Malang. Penerbit Intrans
Publishing pun turut hadir sebagai pemateri yang membicarakan tentang seluk
beluk usaha penerbitan dari hulu sampai hilir.
“Pemerintah sampai saat ini masih menilai
bahwa penerbitan buku sama posisinya seperti usaha besi. Insentif pajak untuk
usaha penerbitan buku tidak ada sama sekali” ujar Direktur Intrans Publishing
Luthfi J. Kurniawan dalam penyampaiannya di forum FGD.
Kebijakan Pemerintah dalam hal ini
melalui Kementerian Keuangan memang sudah mengeluarkan peraturan No 122 Tahun
2013 tentang pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk buku-buku
pelajaran umum, kitab suci, dan buku-buku pelajaran agama. Akan tetapi
kebijakan ini ternyata tidak gampang dilakukan oleh penerbit dalam memperoleh
pengakuan bebas pajak, seperti contoh penerbit Intrans Publishing sudah
beberapa kali mengajukan permohonan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPN tapi tidak
berhasil, padahal mayoritas buku yang diproduksi adalah buku-buku pelajaran
umum perguruan tinggi (baca: Keputusan
kementerian Keuangan no. 353/kmk.03/2001 tentang pengertian Buku Pelajaran Umum).
Hesty Puspitosari sebagai wakil
direktur Intrans Publishing mengatakan “Kami sudah mengajukan ke Pusat
Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional dan Kantor Pajak setempat akan tetapi kesemuanya
tidak merespon dengan alasan macam-macam, sedangkan pihak toko buku tidak
berani memberikan keterangan bebas pajak dalam laporan penjualan dikarena tidak
adanya SKB PPN”.
Persoalan ini menunjukan bahwa pemerintah
belum menujukkan peran secara menyeluruh sampai tingkat bawah. Padahal kita
semua tahu bahwa eksistensi pajak didasari oleh keadilan, Adam Smith dalam
bukunya The Wealth of Nation “ The Four Maxims” menyebutkan bahwa perlunya Equality
and Equity artinya pajak harus adil dan merata (baca; buku Perpajakan karya Rismawati Sudirman). Apabila suatu
kebijakan sudah ditetapkan mestinya semua elemen yang diberi wewenang dan
tanggung jawab harus melaksanakannya dan melayani dengan baik, guna terciptanya
pemerintahan yang adil bagi masyarakat.
“Penerbit adalah usaha industri
keilmuan dalam bentuk buku, pemerintah tentunya dapat menilai sejauh mana
pentingnya antara Pajak yang dibebankan dan Buku” kata Luthfi J. Kurniawan.
Sejatinya pajak diperuntukkan guna
kemakmuran masyarakat, sedangkan buku menjadi salah satu alat untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan keduanya terkandung dalam Undang-Undang Dasar
1945 yang menjadi hak setiap warga negara. Oleh karena itu pemerintah harus serius
dalam menelaah seluruh aspek ekosistem yang berada di industri perbukuan mulai
dari bahan baku kertas, percetakan, penulis, penerbit sampai jalur distribusi
buku. Agar dapat menilai perlu dan tidaknya penghapusan PPN bagi seluruh buku.
Dalam akhir diskusi FGD tentang “Kajian
Usulan Insentif Pajak Penerbitan Buku” ini Lutfi J. Kurniawan menyampaikan “Data ini
harus menjadi data “HIDUP”, jangan sampai hanya menjadi tumpukan arsip yang
tersimpan dalam rak”.
Dengan adanya FGD yang diselenggarakan oleh Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bersama Badan Ekonomi Kreatif Indonesia (BEKRAF)
ini, berharap menjadi rumusan kebijakan pemerintah kedepan dalam meningkatkan
kecerdasan masyarakat.
Langganan:
Postingan (Atom)