edukasi.kompas.com/ | Senin, 15 Agustus 2011 |
http://www.flickr.com/photos/laskarpelangi/2830454821/ |
KOMPAS.com - ”Tanah Papua adalah tempatku dilahirkan. Tempatku dibesarkan,
walaupun rambutku tidak keriting tapi aku merasa tanah Papua adalah
kampung halamanku. Aku beruntung tinggal dan dibesarkan di
sini, aku suka alamnya. Ada laut dengan ombaknya yang putih seperti
busa. Ada gunung dan bukit yang masih hijau dengan pepohonannya yang
rindang. Udaranya sejuk dan langitnya biru tidak tercemar asap polusi.
Tidak seperti Jakarta yang pernah ku kunjungi, langitnya seperti penuh
debu berwarna kelabu, aku tahu itu terkena polusi.…”
”Tanah
Papua”, demikian tulisan itu diberi judul oleh Shafa Annisa Zen (10),
penulisnya. Murid kelas V SD Al-Ihsan, Jayapura, tersebut dengan riang
membaca tulisan itu hingga tuntas. Riuh tepuk tangan pun menggema.
Dalam
cerita yang ditulisnya dengan tangan dan menggunakan pensil itu, Shafa
juga bercerita tentang Tanah Papua yang kaya, ada emas, juga nikel. Ia
yakin, ada lagi yang lain yang belum ditemukan. Di akhir tulisan, ia
mengungkapkan harapannya, satu saat nanti generasi muda Papua dapat
menemukan aneka kekayaan yang masih tersembunyi itu dan mampu
menggunakannya demi kesejahteraan masyarakat Papua.
Tulisan itu
merupakan salah satu tulisan yang mendapat penilaian terbaik oleh para
pendamping Lokalatih Menulis yang diprakarsai oleh Yayasan Visi Anak
Bangsa dengan dukungan PT Freeport Indonesia. Lokalatih yang bertujuan
mendorong terciptanya penulis-penulis Papua Masa Depan itu digelar sejak
20 Juli lalu dan akan diakhiri pada 29 Juli nanti. Lokalatih itu
diikuti oleh 10 sekolah di Papua, seperti Al-Ihsan, SD Inpres IV, dan SD
Gembala Baik Abepura.
Dalam pembukaan lokalatih yang
diselenggarakan bertepatan dengan Hari Anak Nasional, Sabtu (23/7),
Ketua Yayasan Visi Anak Bangsa Debra Yatim mengungkapkan harapannya
bahwa di Papua nanti akan lahir penulis-penulis unggul seperti Layla C
Khudori yang mengawali latihan menulisnya pada usia empat tahun. Namun,
menurut dia, juga baik untuk anak-anak mulai belajar mengungkapkan
ekspresi, menuliskan gagasan-gagasan awal yang ada dalam batin-budi
mereka.
Bermain, bercanda bersama, dan saling berbagi cerita
adalah beberapa metode yang kemudian diterapkan para pendamping
lokalatih itu untuk menggali ekspresi anak-anak. Tidak mengherankan jika
di ruang lokalatih itu tidak ada satu pun meja atau kursi. Semua duduk
melingkar, saling bertatap muka dengan rekan-rekan yang tentu baru
ditemui dan dikenal dalam lokalatih itu. Menurut Debra Yatim, suasana
memang dibuat demikian agar anak-anak tidak merasa bahwa menulis adalah
beban.
Sebaliknya, ia berharap nantinya bagi anak-anak itu menulis
adalah bagian dari pengalaman-pengalaman baru yang tidak hanya membuka
wawasan, tetapi juga mampu mengekspresikan pengalaman perjumpaan mereka
dengan dunia luar. Kepala Bidang Mutu Pendidikan Dinas Pendidikan
Provinsi Papua Marthen Kuisi yang hadir dalam kesempatan itu tidak hanya
menyambut baik kegiatan tersebut.
Menurut dia, lokalatih itu
merupakan langkah penting bagi pengembangan anak-anak di Papua. Apalagi
peran serta masyarakat untuk turut ambil bagian dalam usaha pendampingan
terus-menerus masih sangat dibutuhkan, mengingat banyaknya kendala yang
harus dihadapi pemerintah dalam pengembangan pendidikan di Papua,
terutama di wilayah pedalaman. Tidak hanya guru, buku-buku pun sangat
terbatas.
”Satu sekolah kadang hanya mendapat 10 set buku paket,”
katanya. Keterbatasan itu pula yang menjadi salah satu kendala bagi para
guru di pedalaman untuk memacu kreativitas dan inovasi siswa. Dalam
konteks itu, ia melihat peran serta masyarakat sebagaimana dikembangkan
oleh Yayasan Visi Anak Bangsa menjadi penting.
Hal itu
mengingatkan kembali pada apa yang dilakukan oleh Pater Jhon Jonga di
Arso, Kabupaten Keerom. Bersama dengan Cyprianus Jehan Paju Dale,
mahasiswa pascasarjana pada sebuah universitas di Amsterdam, Belanda,
Jhon Jonga mulai melatih menulis bagi anak-anak asli Papua yang tinggal
di asrama di belakang rumah para pastor di Keerom.
Awalnya sulit
karena anak-anak itu, meski telah lama mengenal Pater Jhon Jonga,
cenderung tertutup. Namun, dengan pendampingan yang intensif, anak-anak
itu ternyata mampu menghasilkan tulisan-tulisan luar biasa.
Lahir
dari benak mereka, tulisan berisi kritik kepada para tua-tua adat yang
begitu gampang melepas tanah ulayat yang seharusnya diwariskan kepada
anak-cucu mereka. Lahir pula tulisan yang berisi keprihatinan atas
relasi anak muda masa kini, juga kisah tentang kekerasan dalam rumah
tangga. Tulisan-tulisan itu lalu mereka rangkai menjadi sebuah skenario
drama tujuh babak yang kemudian beberapa kali mereka pentaskan, baik di
sekolah maupun di paroki.
”Mereka menjadi sangat gembira. Tidak
hanya karena sambutan yang baik dari orangtua atau teman-teman mereka,
lebih dari itu, ternyata menulis juga membantu mereka menjadi bebas,”
kata Pater Jhon Jonga.(B Josie Susilo Hardianto)