oleh: Ach Dhofir Zuhry
”...tanpa diperangi pun, negara ini akan hancur
karena orang Indonesia punya bakat luar biasa
untuk menghancurkan diri dan bangsanya sendiri...”
(Mu’allim Tsalits)
”Negara ini sudah
seratus tahun lebih menanti hadirnya pemimpin yang tidak lembek, yang
sungguh-sungguh serius memakmurkan bumi, benar-benar nasionalistik dan
membuktikan patriotismenya dalam berbagai tindakan politik, kebijakan
pembangunan, diplomasi dan hubungan bilateral-multilateral, eksistensi
kenegaraan, perekonomian dan kebudayaan, bukan malah mempersilahkan
tangan-tangan bajak laut, cecunguk, perompak dan bromocorah asing untuk
terus-menerus menghegemoni sesuka perut mereka”
”Lama sekali ya, seratus tahun? Apa jadinya negeri kita nanti?”
”Untuk
punya pemimpin besar seperti khalifah Umar, mungkin masih butuh seratus
atau bahkan beratus-ratus tahun tahun lagi, ketika negari ini sudah
tidak lagi bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia”
”Kenapa begitu?”
”Kemungkinan
setelah NKRI dipecah-belah dan hanya menyisakan lima atau paling banyak
sepuluh provinsi saja, dan kebanyakan menjadi negara bagian Amerika dan
Inggris, atau yang paling apes jadi negara bagian Australia, China dan
Malaysia”
”Separah itu, Pak? Jangan menakut-nakuti saya yang awam ini!”
”Ya,
memang parah! tapi menurutku, dari pada terus-menerus diingusi,
dikencingi dan dijadikan boneka mainan Amerika, sekalian saja kita jadi
negara bagian Amerika. Kan enak dapat subsidi?”
”Ya ya ya, betul itu, Pak. Lantas?”
”Sebenarnya,
pemusnahan dan dehistorisasi negara kita ini sudah dirancang adikuasa
lebih dari 135 tahun yang lalu, tepatnya beberapa tahun menjelang Bung
Karno wafat, salah satunya kudeta oleh Orde Baru”
”Kenapa Indonesia harus dihancurkan? Siapa di balik itu semua, pak?”
”Siapa
di balik itu? siapa lagi kalau bukan maling-maling dan
cecunguk-cecunguk asing itu. Alasannya jelas karena Indonesia adalah
bangsa yang memiliki sejarah peradaban yang tinggi, ribuan tahun yang
lalu, bahkan ketika bangsa-bangsa lain seperti Eropa dan Amerika masih
buta aksara dan belum kenal mandi. Kau ingat, 150 tahun sebelum Nabi
Muhammad membangun peradaban di Jazirah Arab, Indonesia sudah punya
kerajaan Kutai Kertanegara. Itu artinya kita orang sudah berbudaya, jauh
ketika bangsa lain masih hidup seperti binatang di hutan belantara”
”O ya? berarti kita...?”
”Ya,
tahun 450 M. Pada saat itu, bahkan 500 tahun setelah itupun Eropa dan
Amerika masih buta huruf, mereka hidup menggelandang dan semrawut di ceruk-ceruk gua, bebukitan dan gunung-gunung. Kurang lebih seperti manusia Purba-lah”
”Lantas sekarang?”
”Sekarang
negara kita sudah tinggal ampas dan keraknya saja, karena semua
kekayaan sudah dijual dan diobral murah pada bromocorah dan perompak
asing itu. Seratus tahun lagi kita semua akan tenggelam ke perut bumi.
Tak usah diperangi, Indonesia akan hancur dengan sendirinya, tentu saja
karena orang Indonesia punya bakat yang luar biasa dalam menghancurkan
diri dan bangsanya sendiri.”
***
Itulah
obrolan pertamaku dengan pak Kiswandi di sebuah pusat perbelanjaan yang
kemudian setelah itu kami menjadi karib dan sering bertemu. Aku kurang
begitu dengar, Kiswandi apa Biswandi atau Bismandi namanya. Lelaki paruh
baya itu adalah narapidana kasus korupsi dana hibah BI, pencucian uang (money laundry),
pengalihan dan manipulasi uang negara untuk kampanye Pilpres dan
pil-pil yang lain serta masih banyak lagi, hingga saat ini pun masih
menjabat sebagai ketua parpol dan beberapa perusahaan raksasa.
Anda
masygul dan heran mengapa pak Kiswandi yang sepertinya orang baik-baik
bisa tersangkut kasus korupsi? Tak perlu kaget, di dunia ini tak ada
yang lebih menipu selain penampilan dan kepolosan. Wajah dan tingkah
sangat bisa dipoles: Iblis berwajah Nabi, Setan bertingkah Malaikat.
Maka, karena ia mantan menteri keuangan yang konon membiayai kampanye
Pilpres, tentunya sang presiden sedikit sungkan dan—karena tuntutan
publik—terpaksa menonaktifkan dia dengan sangat terhormat. Sekali lagi
Anda akan kaget kenapa seorang narapidana aktif yang masih menjalani
masa tahanan bisa asyik belanja di mal? Tenang, tak perlu heran. Sejak
awal tahun 2100 kemarin pemerintah mengamandepen KUHP bagi para pejabat
dan atau mantan pejabat negara, jika tersangkut kasus hukum, maka kepada
mereka hanya diberlakukan tahanan kota. Itu artinya mereka boleh
berkeliaran ke mana-mana, yang penting ia tidak meninggalkan kota atau
kabur ke luar negeri.
Anda
masih heran? Sudahlah, sekali lagi tak perlu mengerutkan dahi, KUHP,
yang tertulis memang Kitab Undang-undang Hukum Pidana, tapi praktiknya
di mana-mana Kasih Uang Habis Perkara. Amandemen teranyar setelah pemilu
2099 kemarin adalah legalisasi kawin sesama
jenis, artinya homo dan lesbi boleh, sementara nikah Sirri tetap
dilarang, dengan dalih perlindungan perempuan dan HAM.
Sampai
menjelang abad ke-22 ini anggota DPR/MPR digaji Rp 5 Milyar perbulan
plus tunjangan sebesar tiga kali lipat gaji dengan fasilitas rumah dan
vila, mobil Limusin, pesawat pribadi dan 3 orang isteri muda, termasuk
jika yang bersangkutan menginginkan pasangan sesama jenis. Di bidang
politik, Indonesia mencaattkan rekor sebagai negara dengan partai
politik (parpol) terbanyak. Jumlah parpol lebih dari 1000, dengan kata
lain setiap kabupaten dan kota punya parpol sendiri, ini seiring dengan
kebijakan otonomi daerah. Kalau dulu tahun 2010 saja Indonesia menjadi
negara terkorup se Asia Pasifik, maka jangan heran kalau sekarang jadi
negara terkorup se-jagad raya. Prestasi yang sangat fantastis, yang
setanpun tidak sanggup melakukan hal itu.
Di
bidang olahraga, Indonesia punya catatan manis sebagai juara Piala
Dunia 2098 kemarin, tapi bukan sepak bola lapangan hijau (rumput),
melainkan sepak bola lumpur. Dulu tahun 2010 saja lumpur Lapindo luasnya
sudah 75 kali lapangan sepak bola, sekarang sudah 7500 kali lapangan
bola. Makanya, PSSI sekalian mengajukan mekanisme penyelenggaraan dan
regulasi Piala Dunia (sepak bola) lumpur ke FIFA, dan syukurlah,
diterima, sekaligus Indonesia jadi tuan rumah. Rupanya Indonesia cukup
tahu diri, bahwa untuk bermain bola di lapangan hijau, menghadapi
Vietnam saja kalah 4-0, itu terjadi sejak 90 tahun lalu ketika PSSI
masih diketuai narapidana kasus Bulog. Lagipula, kalau sepak bola masih nyusu dana
APBD tidak akan pernah maju, lebih baik dana APBD digunakan membangun
sekolah gratis, seperti SMK kelautan dan perikanan, SMK pertambangan dan
mineral, SMK kehutanan, dan sebagainya. Sekarang Alhamdulillah sudah
bisa jadi juara dunia sepak bola lumpur, sebab untuk sepak bola
lapangan hijau sangat mustahil. Bahkan seandainya Indonesia berlatih
terus selama 50 tahun, sementara Brazil dan Italia berhenti bermain bola
selama 50 tahun juga, rasanya tisak mungkin menang kalau Indonesia
diadu lawan Brazil. Jadi untuk apa kita memaksakan diri ”membeli” gengsi
dengan sepak bola?
Di
bidang keamanan, Indonesia dan Malaysia terus berperang memperebutkan
perbatasan di Kalaimantan sampai akhirnya Kalimantan Barat dan Timur
jatuh ke tangan Malaysia, sekarang tinggal Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Tengah, provinsi yang ibukotanya Palangkaraya, yang oleh Bung
Karno sempat akan dijadikan ibukota Indonesia, ketika Jakarta hampir
seluruhnya tertutup permukaan air laut dan banjir setiap tahunnya. Kalau
di paruh kedua abad ke-20 sampai awal abad 21 konflik perbatasan hanya
terjadi di jalur Gaza, Kashmir dan Bosnia, maka di awal abad ke-22 ini
Indonesia terus dibulan-bulani Malaysia (yang dibantu Inggris) untuk
memperlebar wilayahnya, seperti Israel merebut tanah Palestina sejak 150
tahun yang lalu. Sekarang bukan hanya Kalimantan, Irian pun sudah jatuh
ke tangan Papua Nugini dan provinsi Nusa Tenggara Timur telah resmi
bergabung dengan negara Timor Leste. Selain itu Aceh, Maluku dan Poso
resmi merdeka. Indonesia tinggal pulau Jawa, sebagian Sulawesi,
Kalimantan dan Sumatera, karena Bali dan Lombok sudah jadi negara bagian
Amerika.
***
Bebarapa
minggu menjelang tahun baru 2101 hujan tak kunjung reda siang-malam,
langit pekat seakan marah sehabis-habisnya pada bumi yang terluka
berabad-abad, mengamuk rumah kami bersama topan dan puting beliung,
belum lagi Tsunami, gempa dan longsor. Malam masih memucat, sepucat
pikirku yang tak habis pikir dan masygul dengan negeri ini, sepucat
kenangan-kenanganku akan negeri yang kaya, bahkan sebegitu kayanya
negeri ini sampai-sampai puluhan penjajah antri berjejal-jejal untuk
mengeruk negeriku dengan berbagai bentuk hegemoni. Belanda memperkosa,
Portugis dan Inggris menebar tangis, Jepang penjahat perang, Amerika
semena-mena, Australia begitu juga, dan terakhir Malaysia adalah
penjajah dan penjarah nusantara. Khusus Malaysia, mereka juga penjarah
sejarah dan maling kebudayaan yang terang-terangan meludahi kepala
orang-orang Indonesia.
Tahun
2100 ini adalah tahun yang paling tidak menyenangkan bagiku. Sampai
memasuki awal tahun 2101 pun aku merasa bahwa tahun depan dan entah
sampai beberapa tahun yang akan datang sepertinya akan terus kurang
bersahabat, karena memang sudah lima tahun terakhir hujan turun tanpa
henti hampir sepanjang hari.
Aku
kadang merasa aku adalah generasi yang terlambat lahir, mestinya aku
dilahirkan bersama sejarah awal berdirinya negeri ini. Tapi sudahlah,
tak ada yang indah dan merdu selain syukur, sekurang-kurangnya kini
nusantaraku—kalau masih pantas disebut nusantara—sudah berusia 155
tahun. Sebuah usia yang mestinya sejajar dengan tingginya peradaban dan
pencapaian-pencapaian monumental di dunia internasional. Namun apa yang
terjadi? Peniti dan korekan kuping (cutton bud) saja kita impor
dari China, apalagi kendaraan dan alat-alat elektronik. Bahkan,
Indonesia sudah tidak punya identitas, karena kebudayaan juga impor dari
luar begeri.
Tahun
yang hambar, lebih tepatnya, ratusan tahun yang sangat hambar dan
benar-benar ketar, kegelisahan melingkar, kesedihan terus menjalar,
kegilaan manusia berpendar-pendar, aku hanya gemetar setiap ingat betapa
manusia kepada agama dan moralitas telah jauh ingkar. Itulah kenapa di
negeriku tak ada penyakit yang tak menular. Bukan hanya HIV dan Flu
Tikus, sakit pilek, batuk, migran, stress, rasa malas dan foya-foya pun
sudah menular ke kampungku. Namun demikian angka kamatian
tertinggi—karena bunuh diri—di Indonesia masih disebabkan oleh PHK,
kegagalan menajdi anggota legislatif dan PNS. Belakangan mesin pembunuh
yang tak kalah kejam adalah LPG, sepeda motor dan rokok. Karena alasan
itu pula, aku berhenti menjadi PNS, berhenti naik motor, berhenti
merokok, dan berhenti menggunakan LPG Pertamina, sekalipun dipaksa oleh
pemerintah.
”Mau
makan apa kita?”, tanya isteriku, ”ratusan juta orang antre ingin jadi
PNS, bapak malah berhenti. Apa jeleknya jadi PNS rendahan? Biarlah gaji
pas-pasan, yang penting ada jaminan di hari tua ketika pensiun”
Aku
sengaja tak menjawab celoteh isteriku. Terpikir olehku jadi tukang
parkir di mal depan rumah saja, gajinya lebih besar dan jelas-jelas
tidak ada potensi untuk korupsi. Ya, dalam lima tahun terakhir
berpuluh-puluh mal dan pusat perbelanjaan memang sengaja didatangkan
oleh tangan kuasa untuk menutupi seluruh sawah dan pekarangan di kampung
kami.
Alat-alat
berat, buldozer, mesin-mesin canggih dan pekerja-pekerja yang terbuat
dari besi dan baja tak pernah berhenti berdentum siang-malam. Aku masih
ingat betapa kebun warisan nenek aku jual untuk menyuap
petinggi-petinggi DPRD agar aku diterima jadi PNS—sekalipun dalam
praktiknya jadi tukang sapu, bahasa keren-nya Cleaning
Service—delapan tahun lalu. Apa boleh buat? sekarang zaman PNS, yang
penting santai, senang dulu baru susah kemudian. Biarlah anak-cucu yang
sengsara membayar hutang negara.
Di
bekas kebun itu, campuran kasar berupa beton dan cor yang terdiri dari
semen, pasir dan kerikil terus menghantam keras-keras, tidak hanya ke
tanah, tapi juga ke dada dan kepalaku, hari demi hari. Kebun itu
direnggut paksa jatidirinya, diputus masa lalunya yang subur-gembur.
Semua kehilangan masa lalu dan sejarahnya: ribuan ton pasir digerus dari
sungainya, ribuan ton kerikil dihancurkan dari kesatuan batunya, jutaan
sak semen diperas dari bumi. Mal-mal dan gedung-gedung congkak itu
menutup semua energi hidup yang dulu tumbuh hijau di kebunku. Aku
menyesal, sangat menyesal, bahkan ketika nenek meninggal, meniggalkan
kesedihan pada semua yang ditinggal, arwahnya pun tidak akan tenang
melihat kenyataan ini.
***
”Lo,
kenapa tidak masuk kerja?”, tanya pak Kiswandi sambil nyeruput kopi.
Pagi itu kami tanpa sengaja bertemu di jalan. Dia lantas mengajakku ke
rumahnya.
”Saya berhenti jadi PNS”
”Lo, kok aneh? Kenapa?”
”Sudahlah, Pak. Saya sedang benci dengan kata-kata ’kenapa’. Istri saya tiap hari ratusan kali bertanya kenapa”
”Kalau begitu, pertanyaan saya ganti: ada apa dengan PNS, kok berhenti?”
”Malas, saya nyogok ratusan juta dulu sampai jual kebun, kok cuma jadi tukang sapu di gedung Dewan, delapan tahun lamanya”
”Saya juga tidak habis pikir kenapa ratusan juta orang
berbondong-bondong jadi PNS. Ingatlah, alam raya ini adalah satu sistem
kesatuan dan kerjasama. Kita memang perlu batu dan bata untuk membangun
rumah, itu saja tidak cukup, mesti ada besi, cor, paku, harus ada kayu
yang sudah ditanam puluhan atau bahkan ratusan tahun, harus ada genteng
yang sudah dibakar sekian waktu, harus ada isi dan perabot rumah yang
sudah dipermak, harus ada pintu dan jendela fentilasi. Untuk menguji
penghuninya rajin bersih-bersih atau tidak, kita sangat perlu tikus,
kecoa dan coro. Untuk mengetahui seberapa tangguh rumah kita, perlu
gempa, longsor, banjir dan puting beliung untuk menguji”
”Maksudnya apa itu, Pak?”
”Kita hidup berbangsa bernegara ini tidak hanya butuh negarawan,
(poli)tikus, birokrat, teknokrat, ilmuwan, seniman, penyair, ulama dan
pastor, tapi negara ini juga perlu koruptor, bromocorah dan mafia-mafia
untuk menguji seberapa tangguh negara ini dapat menghadapi masalah!”
Pak
Kiswandi terlihat sangat bersemangat menyampaikan pikiran-pikirannya.
Aku hanya terdiam sesekali sambil manggut-manggut, aku mencoba mencerna
kata-kata itu, batinku berujar, jangan-jangan itulah alasan mengapa pak
Kiswandi jadi mafia negara dan mengemplang uang rakyat.
”Makanya jadi PNS pun harus pilih-pilih, ya memang kalau umpannya kecil, ikannya juga kecil”, ia melanjutkan
”Betul itu, Pak. Kalau yang penting PNS, akhirnya cuma jadi tukang fotocopy dan tukang cuci, seperti saya ini, Pak”
”Gajimu berapa?”, tanya pak Kiswandi
”Dua puluh juta, pak!”
”Apa?!,
di tahun 2100 ini uang dua puluh juta dapat apa? naik taksi sepuluh
menit saja sudah Rp. 500.000, minum kopi di warung kecil saja Rp.
100.000,- Sekarang kurs Dollar Rp. 199.025, itu artinya gaji kamu cuama
100 Dollar perbulan. PNS macam apa itu? Pantaslah jika seratus tahun ini
setengah penduduk Indonesia lebih betah tinggal di luar negeri sebagai
TKI, TKW, dan setengahnya lagi berebut jadi PNS, macam kamu ini”
”Ya, begitulah, Pak”
”Begini saja, kamu jadi satpam di perusahaan saya, gajinya sepuluh kali lipat dari pada jadi PNS, mau?”
”Pasti
saya mau, terima kasih banyak, Pak. Tapi jadi satpam zaman sekarang kan
harus lulusan S-2 dan bersertifikat Toefl, bagaimana, Pak?”, aku girang
sekali mendengar tawaran itu. Biarlah satpam, yang penting anak-isteri
tak kurang makan.
”Alaah,
gitu saja kok bingung. Jangan pura-pura tidak tahu! Sekarang ijazah
sarjana sampai doktoral dijual murah di warung-warung kopi. Untuk
mendapatkanya bahkan jauh lebih mudah dari pada membeli pulsa elektrik,
bahkan pedagang asongan di terminal dan stasiun pun menjual-obral.”
”Ya, ya, Pak. Maksud saya itu. Zaman sekarang mana ada yang asli, hehehe”
”Besok kamu mulai bekerja.”
***
Tiga
pekan aku bekerja di perusahaan pak Kiswandi, kami sekeluarga mendapat
voucher liburan gratis. Malam hari tanggal 31 Desember 2100 tidak
biasanya anak kedua kami yang masih balita menangis malam-malam, mungkin
tidurnya tak nyenyak lantaran dua hari ini kami sekeluarga menikmati
liburan tahun baru di Bali (yang saat ini sudah menjadi luar negeri),
atau mungkin gara-gara suara gaduh dan gegap-gempita perayaan tahun
baru. Beberapa menit kemudian setelah diganti popok, isteriku
menidurkannya lagi.
Di
luar rumah, sekalipun hujan rintik menggerimis tidak benar-benar reda,
namun bunyi petasan saling bersahutan dengan suara terompet dan teriakan
histeris muda-mudi menyambut datangnya abad ke-22. Entahlah, sepertinya
orang-orang terlalu berharap banyak pada tahun 2101. Hal ini sangat
wajar karena Indonesia sejak merdeka hingga 155 tahun kemudian masih
menyandang status negara dengan mutu pendidikan terendah di bawah Timor
Leste. Dengan kata lain, Indonesia adalah negara tergoblok se-jagad
raya. Namun aku tak bergeming, aku tak tahu apakah harus bergembira
bersama mereka di luar sana, sementara di dalam hati tangisan ibu
pertiwi berdentum melebihi suara mercon. Hanya tarikan nafas panjang
yang menemaniku malam itu. Entahlah kenapa aku justru susah tidur di
hotel bintang tujuh?
Aku
lepas kaca mata lalu duduk di sofa ruang tengah, tanpa sengaja tangan
kiriku memencet remote control dan televisi pun menyala, dan, astaga,
betapa kagetnya ketika tayangan TV bukan seputar perayaan tahun baru,
tapi tentang kabupaten Sidoarjo, kota Surabaya dan Gersik yang sudah
tenggelam oleh lumpur Lapindo. Diberitakan bahwa dalam beberapa jam pada
malam itu juga kota-kota tersebut sudah menyatu dengan laut Jawa. Hanya
monumen Lapindo setinggi 900 meter yang masih terlihat setengah,
monumen itu dibangun sejak 2095 dan akan diresmikan tahun 2105 yang akan
datang untuk memperingati 100 tahun tragedi lumpur Lapindo.
Aku
termangu, lalu tanpa sengaja berteriak, berteriak lagi dan lagi dengan
setengah membentak aku panggil isteriku, ”Bu, cepat, cepat kemari!”.
”Ya, ya, Pak, sebentar! Ada apa sih?”, isteriku sampai tergopoh-gopoh sambil merapikan baju
Ini
bukan soal kota-kota dan kabupaten yang tenggelam ke laut Jawa, aku
jelas prihatin, itu pasti, siapa yang tidak menangis negerinya tenggelam
ke dasar laut? Tapi lebih memprihatinkan lagi karena mulai malam itu
juga bisa dipastikan aku kehilangan rumah dan pekerjaanku, karena
perusahaan tempat aku bekerja adalah PT. Lapindo Brantas.
***
Perth, Australia 2006 – Malang 2010