Lihat Katalok Buku ini |
Bagaikan
mencari jarum dalam sekam. Mungkin itu pepatah yang sangat pas untuk
menggambarkan bagaimana sulitnya masyarakat miskin mendapatkan akses keadilan
hukum di negeri ini. Masyarakat miskin kerapkali menjadi korban dari penegakkan
hukum yang tidak adil. Kita mendengar anecdot sosial yang berkembang dan
menjadi pembicaraan di tengah kehidupan masyarakat terkait dengan penegakkan
hukum atas masyarakat miskin ini; “ jika si miskin melaporkan kasus pencurian
ayam ke pihak keplisian, maka ia akan kehilangan sapi”. Pernyataan ini tentunya menohok praktik penegakkan hukum di
negeri ini.
Dalam
realitasnya, masyarakat miskin begitu mudah menjadi korban ketidakadilan hukum
di Indonesia. Proses penegakkan hukum seringkali melahirkan ketidakadilan
hukum. Dan ketidakadilan hukum ini bersumber dari bekerjanya hukum dalam sebuah
sistemnya. Ketika hukum dilepaskan dari konteks sosialnya, maka hukum akan jauh
dari rasa keadilan masyarakat. Dan inilah yang sekarang sedang menjadi sorotan
masyarakat luas. Aparat penegak hukum melihat dan memahami kasus hukum hanya
pada teks-teks “kaku” yang ada dalam aturan perundang-undangan semata, tanpa berusaha
memahami kasus hukum tersebut dalam konteks sosialnya.
Setelah
kasus ketidakadilan hukum menimpa warga miskin Mbah Minah dengan Kakaonya di
Cilacap, Basar-Kholil dengan Semangkanya di Kediri, Ibu Amirah (30), seorang
pembantu rumah tangga dengan sarungnya di Pamekasan, dan kini kasus menimpa
seorang siswa SMKN 3 Palu berinisial AAL. AAL, seorang anak dibawah umur (15)
dituduh mencuri sepasang sandal jepit milik seorang anggota Brimob Polda
Sulteng. Sebelum kasus itu dibawa kepengadilan, AAL di duga mendapat perlakuan
kekerasan dari oknum polisi tersebut. Dalam persidangan, AAL terancam hukuman 5
tahun penjara.
Seperti
biasa kasus sepele ini langsung
mendapat reaksi keras dari berbagai elemen masyarakat. Sebagai bentuk
solidaritas terhadap “ketidak adilan terhadap AAL”, masyarakat diberbagai
daerah mengumpulkan 1000 sandal jepit yang akan diberikan kepada Polri sebagai
pengganti sandal oknum yang diambil AAL. Untuk kesekiankalinya pihak kepolisian
sepertinya tidak belajar dari kasus-kasus hukum sepele yang menimpa anak-anak atau masyarakat miskin sebelumnya
yang mendapat reaksi keras dari masyarakat luas. Paradigma berhukum aparat penegak hukum kita
masih sangat konservatif, berkutat pada aspek legal-formal, legalistik-positivistik
semata, tanpa mempertimbangkan akal sehat dan nurani. Untuk memahami dan
menganalisis secara komperhensif kasu-kasus hukum yang menimpa kaum marginal
(orang miskin, usia lanjut dan anak) diatas, sangat tepat jika kita membaca
buku Hukum dan Keadilan Masyarakat; Perspektif Kajian Sosiologi Hukum ini.
Buku
ini merupakan hasil penelitian penulis untuk kepentingan menyelesaikan studi
Magister (S-2) Sosiologi di Program
Pascasarjan FISIP Universitas Airlangga Surabaya. Penelitian ini mengangkat
tema yang saat ini sedang menjadi sorotan publik, yakni masalah Hukum dan Keadilan. Buku ini membahas tentang hukum dan Keadilan Masyarakat
Prespektif kajian Sosiologi Hukum. Sebagai negara hukum (rechstaat), Indonesia saat ini sedang dihadapkan pada persoalan
hukum dan keadilan masyarakat yang sangat serius. Hukum dan keadilan masyarakat
seolah seperti dua kutub yang terpisah, tidak saling mendekat. Kondisi ini
tentu saja bersebrangan dengan dasar filosofis dari hukum itu sendiri, dimana,
hukum diahirkan tidak sekedar untuk membuat tertib sosial (sosial order), tetapi lebih dari itu, bagaimana hukum dilahirkan
dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.
Buku
ini bertujuan untuk memahami dan menganalisis kasus hukum yang menimpa
masyarakat miskin, dalam pespektif sosiologi hukum. Selain itu juga untuk
menghadirkan penjelasan secara utuh terhadap problematika huku yang akhir-akhir
ini sedang marak dihadapi masyarakat miskin. Adapun kasus hukum yang diangkat
dalam buku ini adalah kasus pencurian suatu buah semangka yang dilakukan buruh
tani miskin, yakni Bashar-Kholil yang terjadi di kota kediri pada akhir tahun
2009.
Tema
ini penting diangkat karena, Pertama, karena kasus ketidakadilan yang menimpa
masyarakat miskin-termasuk kasus Basar-Kholil saat ini sedang dan terus menjadi
fenomena dan sorotan tajam dari masyarakat dan media massa, baik cetak maupun
elektronika. Publikasi yang begitu massif atas kasus-kasus ketidakadilan hukum
yang menimpa masyarakat miskin telah mendapat aksi solidaritas, simpatik dan
empatik dari masyarakat luas. Berbagai aksi lintas sosial terus mewarnai proses
hukum terhadap masyarakat miskin.
Kedua, selama ini berbagai kajian dan penelitian
terkait dengan kasus hukum yang terjadi di masyarakat, terutama yang menerima
kelompok masyarakat miskin, lebih banyak menggunakan pendekatan
yuridis-normatif, yakni pendekatan yang berbasis pada apa yang tertulis dalam
peraturan perundang-undangan. Sementara pendekatan sosiologi hukum masih sangat
minim. Dalam pandangan para sosiolog hukum, pendekatan yuridis-normativ tidak
cukup memadai untuk menjelaskan realitas sosio-yuridis yang terjadi di tengah
masyarakat, seperti halnya kasus pencurian yang menimpa dua buruh tani miskin
tersebut. Pendekatan sosiologi hukum berusaha untuk menghubungkan hukum dengan
keadaan masyarakatnya (Rahardjo, 2010:4).
Ketiga, karena adanya pemahaman yang kurang
komprehensif dari aparat penegak hukum kita dalam melihat dan menangani kasus
hukum yang menimpa kelompok masyarakat miskin. Para aparat penegak hukum kita
lebih bersandar pada pemahaman dan penerapan hukum normative tertulis saja, tanpa
mempertimbangkan hukum sosiologis. Apalagi pemahaman hukum
positivistik-legalistik ini diwarnai intervensi kekuatan politik-kekuasaan dan
ekonomi. Ini yang kemudian melahirkan praktik diskriminasi hukum yang begitu
massif yang terjadi di tengah masyaraklat kita. Dan masyarakat miskin terus
menjadi korban hukum yang dirancang oleh kelompok tertentu yang memiliki akses
politik-kekuasaan dan ekonomi. Pemahaman hukum secara sosiologis atau kasus
hukum yang menimpa masyarakat miskin akan lebih mendekatkan pada lahirnya
keadilan subtantif, yakni keadilan didasarkan pada moral dan kemanusiaan
publik.
Menurut
Zudan Arif Fakrullaoh dalam tulisannya Penegakkan
Hukum sebagai Peluang Menciptakan Keadilan (2005:26), mengatakan, berlakunya
hukum ditengah-tengah masyarakat, mengemban tujuan untuk keadilan, kepastian
hukum dan kemanfaatan dan pemberdayaan sosial bagi masyarakat. Untuk menuju
pada cita-cita pengadilan sebagai pengayom bagi masyarakat, maka pengadilan
harus senantiasa mengedepankan empat tujuan hukum diatas dalam setiap putusan
yang dibuatnya. Hal ini sejalan dengan apa yang menjadi dasar berpijaknya hukum
yaitu “hukum untuk kesejahteraan masyarakat”.
Hukum
yang lebih substansial, bukanlah hukum yang beroperasi dalam pasal-pasal yang
sangat kaku, dan eksklusif. Hukum dalam prespektif sosiologis adalah hukum yang
bergerak dan beroperasi dalam dinamikanya yang aktual dan faktual dalam sebuah
jaringan sosial-kemasyarakatan. Hukum sosiologis lahir, hidup, dan berkembang
dalam jaringan sosial masyarakat yang kompleks. Dan hukum sosiologis memiliki
varian mekanisme sosio-yuridis dalam menyelesaikan berbagaia konflik sosial
yang muncul dalam masyarakat.
Ditengah
keterpurukan praktek berhukum di negara Indonesia yang mewujud dalam berbagai
realitas ketidakadilan hukum, terutama yang menimpa kelompok masyarakat miskin,
sudah saatnya kita tidak sekedar memahami dan menerapkan hukum secara legalistic-positivistic, yakni cara
berhukum yang berbasis pada peraturan hukum tertulis semata (rule bound), tetapi perlu melakukan terobosan
hukum yang dalam istilah S`tjipto Raharjo (2008), disebut sebagai penerapan
hukum progresif. Dan salah satu aksi progresivitas hukum, adalah berusaha
keluar dari belenggu atau penjara hukum yang bersifat positivistik dan
legalistik. Dengan pendekatan yuridis-sosiologis, diharapkan-selain akan
memulihkan hukum dari keterpurukannya, juga yang lebih riil, pendekatan
yuridis-sosiologis diyakini mampu menghadirkan wajah keadilan hukum dan
masyarakat yang lebih substabtif.