PEMILU YANG DEMOKRATIS DAN BERKUALITAS: PENYELESAIAN HUKUM
PELANGGARAN PEMILU DAN PHPU
Oleh: A. Mukthie
Fadjar
I.
Pendahuluan
Pemilihan Umum
(Pemilu) Tahun 2009 yang merupakan Pemilu ketiga
pasca Orde Baru atau era Reformasi dan Pemilu kedua setelah Perubahan UUD 1945 (1999-2002), serta merupakan Pemilu Kesepuluh dalam sejarah Ketatanegaraan
Indonesia, telah bergulir dengan berlangsungnya tahapan pemungutan suara untuk Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD
(selanjutnya disebut Pemilu Legislatif) pada
hari Kamis tanggal 9 April 2009. Hasil sementara perolehan suara Peserta Pemilu berdasarkan penghitungan cepat (quick count) oleh berbagai lembaga survei
pun telah diketahui oleh publik. Sementara
itu, dari berbagai pemberitaan media massa juga dapat diketahui oleh publik bahwa telah terjadi berbagai pelanggaran dalam proses pelaksanaan Pemilu
Legislatif, seperti kekacauan mengenai
Daftar Pemilih Tetap (DPT), bany`knya warga negara yang kehilangan hak pilihnya, money politic, tertukarnya surat suara, masalah logistik Pemilu, dan
sebagainya.
Salah satu semangat
reformasi adalah mendemokratiskan Pemilu yang pada
masa lalu, yaitu Pemilu-pemilu era Orde Baru (Pemilu 1971, Pemilu 1977, Pemilu 1982, Pemilu 1987, Pemilu 1992 dan Pemilu 1997), Pemilu sekedar sebuah
ritual politik lima tahunan yang penuh rekayasa politik otoritarian yang
dicerminkan dalam peraturan perundang-undangan yang
mengatur Pemilu (electoral laws)
dan dalam proses pelaksanaan Pemilu (electoral process), sehingga yang terjadi sesungguhnya bukan Pemilu dalam arti sebenarnya, melainkan "seolah-olah Pemilu"
yang hasilnya sudah bisa ditebak, yakni
sekedar untuk melanggengkan kekuasaan.
Masalahnya adalah
apakah berbagai pelanggaran, baik pelanggaran
administratif maupun pelanggaran pidana Pemilu dalam Pemilu Legislatif 2009 tersebut telah sedemikian seriusnya, sehingga telah merusak prinsip-prinsip Pemilu
yang demokratis dan berkualitas yang
baik secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap hasil Pemilu. Bagaimana mekanisme atau
prosedur hukum untuk menyelesaikannya, apakah Pemilu dapat dibatalkan secara keseluruhan, serta
institusi peradilan manakah yang
berwenang untuk menyelesaikan masalah-masalah hukum tersebut.
Tulisan ini
bermaksud menganalisis berbagai persoalan hukum Pemilu Legislatif 2009, khususnya berkaitan dengan masalah penyelesaian hukum mengenai berbagai
pelanggaran Pemilu dan perselisihan hasil
Pemilu, dua persoalan yang harus dipahami secara berbeda,
karena mekanisme hukum untuk menyelesaikannya juga berbeda. Ada kecenderungan selama ini, yakni semenjak Pemilu 2004 dan Pemilu Kepala Daerah
(Pemilukada/Pilkada) tahun 2005 - 2008,
masyarakat termasuk para Peserta Pemilu sering mencampuradukkan keduanya.
Pendekatan yang
dipakai adalah "statutory approach", yakni dengan merujuk berbagai peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan
Pemilu, yaitu UUD 1945, UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(disingkat UU 24/2003), UU No. 22 Tahun 2007 tentang
Penyelengg`ra Pemilu (disingkat UU 22/2007), dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (disingkat UU 10/2008).
Akan tetapi,
sebelum menganalisis kedua persoalan tersebut, terlebih dahulu secara singkat akan ditelaah mengenai kaitan antara demokrasi dan pemilu, serta syarat-syarat
untuk mewujudkan pemilu yang
demokratis, dalam hal mana berbagai persoalan hukum Pemilu Legislatif 2009, yaitu pelanggaran
pemilu dan perselisihan hasil pemilu harus diselesaikan secara demokratis
sesuai dengan proporsinya.