Sahabat Intrans Publishing,


Karya Kelompok Intrans Publishing
Setara
Intrans
Madani
Beranda
Empat Dua
Selaksa

Selasa, 31 Januari 2012

PEMILU YANG DEMOKRATIS DAN BERKUALITAS: PENYELESAIAN HUKUM PELANGGARAN PEMILU DAN PHPU


PEMILU YANG DEMOKRATIS DAN BERKUALITAS: PENYELESAIAN HUKUM PELANGGARAN PEMILU DAN PHPU
Oleh: A. Mukthie Fadjar


I.      Pendahuluan

Pemilihan Umum (Pemilu) Tahun 2009 yang merupakan Pemilu ketiga pasca Orde Baru atau era Reformasi dan Pemilu kedua setelah Perubahan UUD 1945 (1999-2002), serta merupakan Pemilu Kesepuluh dalam sejarah Ketatanegaraan Indonesia, telah bergulir dengan berlangsungnya tahapan pemungutan suara untuk Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (selanjutnya disebut Pemilu Legislatif) pada hari Kamis tanggal 9 April 2009. Hasil sementara perolehan suara Peserta Pemilu berdasarkan penghitungan cepat (quick count) oleh berbagai lembaga survei pun telah diketahui oleh publik. Sementara itu, dari berbagai pemberitaan media massa juga dapat diketahui oleh publik bahwa telah terjadi berbagai pelanggaran dalam proses pelaksanaan Pemilu Legislatif, seperti kekacauan mengenai Daftar Pemilih Tetap (DPT), bany`knya warga negara yang kehilangan hak pilihnya, money politic, tertukarnya surat suara, masalah logistik Pemilu, dan sebagainya.
Salah satu semangat reformasi adalah mendemokratiskan Pemilu yang pada masa lalu, yaitu Pemilu-pemilu era Orde Baru (Pemilu 1971, Pemilu 1977, Pemilu 1982, Pemilu 1987, Pemilu 1992 dan Pemilu 1997), Pemilu sekedar sebuah ritual politik lima tahunan yang penuh rekayasa politik otoritarian yang dicerminkan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur Pemilu (electoral laws) dan dalam proses pelaksanaan Pemilu (electoral process), sehingga yang terjadi sesungguhnya bukan Pemilu dalam arti sebenarnya, melainkan "seolah-olah Pemilu" yang hasilnya sudah bisa ditebak, yakni sekedar untuk melanggengkan kekuasaan.
Masalahnya adalah apakah berbagai pelanggaran, baik pelanggaran administratif maupun pelanggaran pidana Pemilu dalam Pemilu Legislatif 2009 tersebut telah sedemikian seriusnya, sehingga telah merusak prinsip-prinsip Pemilu yang demokratis dan berkualitas yang baik secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap hasil Pemilu. Bagaimana mekanisme atau prosedur hukum untuk menyelesaikannya, apakah Pemilu dapat dibatalkan secara keseluruhan, serta institusi peradilan manakah yang berwenang untuk menyelesaikan masalah-masalah hukum tersebut.
Tulisan ini bermaksud menganalisis berbagai persoalan hukum Pemilu Legislatif 2009, khususnya berkaitan dengan masalah penyelesaian hukum mengenai berbagai pelanggaran Pemilu dan perselisihan hasil Pemilu, dua persoalan yang harus dipahami secara berbeda, karena mekanisme hukum untuk menyelesaikannya juga berbeda. Ada kecenderungan selama ini, yakni semenjak Pemilu 2004 dan Pemilu Kepala Daerah (Pemilukada/Pilkada) tahun 2005 - 2008, masyarakat termasuk para Peserta Pemilu sering mencampuradukkan keduanya.
Pendekatan yang dipakai adalah "statutory approach", yakni dengan merujuk berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Pemilu, yaitu UUD 1945, UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (disingkat UU 24/2003), UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelengg`ra Pemilu (disingkat UU 22/2007), dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (disingkat UU 10/2008).
Akan tetapi, sebelum menganalisis kedua persoalan tersebut, terlebih dahulu secara singkat akan ditelaah mengenai kaitan antara demokrasi dan pemilu, serta syarat-syarat untuk mewujudkan pemilu yang demokratis, dalam hal mana berbagai persoalan hukum Pemilu Legislatif 2009, yaitu pelanggaran pemilu dan perselisihan hasil pemilu harus diselesaikan secara demokratis sesuai dengan proporsinya.  

HALAMAN SELANJUTNYA... 01, 02, 03, 04, 05, 06, 07, 08, 09

Related Post