III.
Pelanggaran Pemilu
dan Mekanisme Hukum Penyelesaiannya
Semenjak Pemilu
1999, Pelanggaran Pemilu dibedakan dalam Pelanggaran Administrasi Pemilu dan
Pelanggaran Pidana Pemilu. Akan tetapi, apa
yang dimaksud dengan pengertian Pelanggaran Administrasi Pemilu, baik dalam
undang-undang yang mengatur Pemilu 1999 (UU No.
3 Tahun 1999), Pemilu Legislatif 2004 (UU No. 12 Tahun 2003), maupun dalam
Pemilu Legislatif 2009 (UU 10/2008) tidak pernah dirumuskan secara jelas dan
tegas, sehingga mekanisme hukum penyelesaiannya juga dirasakan kurang efektif.
1. Pelanggaran Administrasi Pemilu
Untuk Pemilu 2009, Pelanggaran
Administrasi Pemilu diatur dalam Pasal 248
s.d. Pasal 251 UU 10/2008 sebagai berikut:
·
Pasal 248: "Pelanggaran
administrasi Pemilu adalah pelanggaran terhadap
ketentuan Undang-Undang ini yang bukan merupakan ketentuan pidana Pemilu
dan terhadap keetntuan lain yang diatur dalam peraturan KPU". Kalau
kita perhatikan rumusan ini begitu luas
cakupannya, sehingga justru akan menyulitkan dalam penyelesaiannya. Rupanya pembentuk Undang-Undang
tidak belajar dari pengalaman Pemilu
1999 dan Pemilu 2004.
·
Pasal 249: "Pelanggaran
administrasi Pemilu diselesaikan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota berdasarkan laporan dari
Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota sesuai dengan tingkatannya".
·
Pasal 250: "KPU,
KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota memeriksa dan memutus pelanggaran administrasi Pemilu dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya laporan
dari Bawaslu, Panwaslu provinsi,
Panwaslu kabupaten/kota".
·
Pasal 251: "Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata cara penyelesaian pelanggaran
administrasi Pemilu diatur dalam Peraturan KPU".
Ketentuan mengenai
pelanggaran administrasi Pemilu dan mekanisme
penyelesaiannya yang tercantum dalam UU 10/2008 tersebut tidak lebih baik dari ketentuan yang tercantum dalam UU
12/2003untukPemilu2004,sehinggaefektivitaspelaksanaannyajuga sangat diragukan.
Kekacauan mengenai DPT yang menyebabkan sebagian warga
negara yang mempunyai hak pilih tidak dapat menggunakan hak pilihnya misalnya, memang seolah-olah hanya merupakan
persoalan administrasi dan pelanggaran administrasi. Akan tetapi, kalau kita
cermati ketentuan Pasal 260 UU 10/2008 yang berbunyi, "Setiap orang
yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya, dipidana
penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan
dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp
12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp 24.000.000,00 (dua
puluh empat juta rupiah)", kekacauan DPT yang menyebabkan sebagian warga negara tidak dapat menggunakan hak pilihnya dapat dikategorikan sebagai
pelanggaran pidana Pemilu, apabila
dapat dibuktikan adanya unsur kesengajaan dalam kasus tersebut.
Belajar dari
pengalaman Pemilu 1999, Pemilu 2004, dan Pemilu 2009, nampaknya di masa depan
Pembentuk Undang-Undang harus merumuskan secara
lebih jelas dan tegas masalah pelanggaran administrasi
Pemilu ini dan mekanisme penyelesaiannya, agar lebih efektif dalam
penerapannya.