Sahabat Intrans Publishing,


Karya Kelompok Intrans Publishing
Setara
Intrans
Madani
Beranda
Empat Dua
Selaksa

Selasa, 31 Januari 2012

HALAMAN 04


 III.      Pelanggaran Pemilu dan Mekanisme Hukum Penyelesaiannya

Semenjak Pemilu 1999, Pelanggaran Pemilu dibedakan dalam Pelanggaran Administrasi Pemilu dan Pelanggaran Pidana Pemilu. Akan tetapi, apa yang dimaksud dengan pengertian Pelanggaran Administrasi Pemilu, baik dalam undang-undang yang mengatur Pemilu 1999 (UU No. 3 Tahun 1999), Pemilu Legislatif 2004 (UU No. 12 Tahun 2003), maupun dalam Pemilu Legislatif 2009 (UU 10/2008) tidak pernah dirumuskan secara jelas dan tegas, sehingga mekanisme hukum penyelesaiannya juga dirasakan kurang efektif.

1. Pelanggaran Administrasi Pemilu
Untuk Pemilu 2009, Pelanggaran Administrasi Pemilu diatur dalam Pasal 248 s.d. Pasal 251 UU 10/2008 sebagai berikut:
·         Pasal 248: "Pelanggaran administrasi Pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang ini yang bukan merupakan ketentuan pidana Pemilu dan terhadap keetntuan lain yang diatur dalam peraturan KPU". Kalau kita perhatikan rumusan ini begitu luas cakupannya, sehingga justru akan menyulitkan dalam penyelesaiannya. Rupanya pembentuk Undang-Undang tidak belajar dari pengalaman Pemilu 1999 dan Pemilu 2004.
·         Pasal 249: "Pelanggaran administrasi Pemilu diselesaikan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota berdasarkan laporan dari Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota sesuai dengan tingkatannya".
·         Pasal 250: "KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota memeriksa dan memutus pelanggaran administrasi Pemilu dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya laporan dari Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota".
·         Pasal 251: "Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian pelanggaran administrasi Pemilu diatur dalam Peraturan KPU".
Ketentuan mengenai pelanggaran administrasi Pemilu dan mekanisme penyelesaiannya yang tercantum dalam UU 10/2008 tersebut tidak lebih baik dari ketentuan yang tercantum dalam UU 12/2003untukPemilu2004,sehinggaefektivitaspelaksanaannyajuga sangat diragukan. Kekacauan mengenai DPT yang menyebabkan sebagian warga negara yang mempunyai hak pilih tidak dapat menggunakan hak pilihnya misalnya, memang seolah-olah hanya merupakan persoalan administrasi dan pelanggaran administrasi. Akan tetapi, kalau kita cermati ketentuan Pasal 260 UU 10/2008 yang berbunyi, "Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya, dipidana penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) dan paling banyak Rp 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah)", kekacauan DPT yang menyebabkan sebagian warga negara tidak dapat menggunakan hak pilihnya dapat dikategorikan sebagai pelanggaran pidana Pemilu, apabila dapat dibuktikan adanya unsur kesengajaan dalam kasus tersebut.
Belajar dari pengalaman Pemilu 1999, Pemilu 2004, dan Pemilu 2009, nampaknya di masa depan Pembentuk Undang-Undang harus merumuskan secara lebih jelas dan tegas masalah pelanggaran administrasi Pemilu ini dan mekanisme penyelesaiannya, agar lebih efektif dalam penerapannya.

HALAMAN SELANJUTNYA... 01, 02, 03, 04, 05, 06, 07, 08, 09

Related Post