Pemilu adalah
wujud nyata demokrasi prosedural, meskipun krasi tidak sama dengan pemilihan umum, namun pemilihan umum merupakan salah satu
aspek demokrasi yang sangat penting yang juga harus diselenggarakan secara
demokratis. Oleh karena itu, lazimnya di
negara-negara yang menamakan diri sebaga negara demokrasi mentradisikan Pemilu untuk memilih pejabat-pejabat publik di
bidang legislatif dan eksekutif baik di pusat maupun daerah. Demokrasi dan Pemilu yang demokratis
saling merupakan "qonditio
sine qua non", the one can not exist without the others.
Demokrasi dan
proses demokratisasi secara kualitatif- Opini Hakim Konstitusi substansial tidak cukup hanya dengan dipenuhinya
atribut-atribut formal demokrasi,
seperti adanya lembaga perwakilan, adanya lebih dari satu partai politik yang bersaing dalam pemilu, dan adanya pemilu yang periodik (Fadjar, A. Mukthie, 1997:73).
Demokrasi dan proses demokratisasi harus didasarkan pada standard-standar hak
asasi manusia (HAM) agar lebih bermakna partisipatoris dan emansipatoris, sebab kalau tidak, demokrasi akan
mudah dikooptasi dan diselewengkan (Dias, Clarence, 1993).
Di Indonesia,
salah satu perubahan
yang signifikan sebagai
akibat Perubahan
UUD 1945 (1999-2002) adalah bahwa cara pengisian jabatan dalam lembaga legislatif dan eksekutif,
baik di tataran nasional, maupun lokal, harus dilakukan dengan cara pemilihan, tidak boleh dengan cara
penunjukan, pengangkatan, atau pewarisan, tentunya dengan asumsi akan lebih demokratis, sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat
sebagaimana yang tercantum dalam
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yaitu bahwa "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar."
Selain itu,
Indonesia telah menganut bentuk pemerintahan republik [vide Pasal 1 ayat (1) UUD 1945] dan
pemilihan umum (Pemilu) merupakan pranata
terpenting bagi pemenuhan tiga prinsip pokok demokrasi
dalam pemerintahan yang berbentuk republik, yaitu kedaulatan rakyat, keabsahan pemerintahan, dan pergantian pemerintahan secara teratur (Fadjar, 2006:
89).
Semua demokrasi
modern melaksanakan pemilihan, tetapi tidak semua pemilihan adalah demokratis,
karena pemilihan yang demokratis
bukan sekedar lambang, tetapi pemilihan yang demokratis harus kompetitif,
berkala, inklurif (luas),
dan definitif yakni menentukan
kepemimpinan pemerintahan (Jeane Kirkpatrick, sebagaimana
dikutip dalam What is Democracy, 1991).
Ukuran bahwa suatu
Pemilu demokratis atau tidak, harus memenuhi tiga
syarat (Merloe, 1994), yaitu a) ada tidaknya pengakuan, perlindungan, dan pemupukan HAM; b) terbangunnya kepercayaan masyarakat terhadap Pemilu yang
menghasilkan pemerintahan yang legitimate,
dan c) terdapat persaingan yang adil dari para peserta Pemilu.
Melalui Perubahan
UUD 1945, Indonesia sebenarnya telah meletakkan
dasar-dasar pemerintahan yang demokratis lewat Konstitusi yang mengamanatkan Pemilu berkala yang demokratis pula, yakni
menganut asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil [Pasal 22E ayat
(1) UUD 1945] dan diselenggarakan oleh suatu komisi
pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri [Pasal 22E ayat (5) UUD 1945]. Pemilu
yang sebelumnya hanya dikenal sebagai instrumen untuk memilih sebagian anggota DPR dan DPRD (karena yang sebagian lagi
diangkat, misalnya Pemilu pada era
Orde Baru dan Pemilu 1999), melalui pengkaidahan dalam Pasal 22E UUD 1945 menjadi instrumen untuk memilih seluruh anggota DPR, DPD, dan DPRD, dan
bahkan untuk memilih Presiden dan Wakil
Presiden secara langsung. Hal ini ditunjukkan dengan adanya ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 sebagai berikut:
·
Pasal 6A ayat (1): "Presiden
dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan
secara langsung oleh rakyat";
·
Pasal 18 ayat (3):
"Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah yang anggotanya dipilih melalui
pemilihan umum";
·
Pasal 19 ayat (1):
"Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum";
·
Pasal 22C ayat
(1): "Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan
umum";
·
Pasal 22E ayat (2):
"Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Presiden
dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah."
Untuk pemilihan
kepala daerah (Pilkada), baik provinsi maupun kabupaten/kota, melalui ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 dinyatakan bahwa "Gubernur, Bupati,
dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah
provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara
demokratis." Rumusan ini telah
menimbulkan permasalahan bahwa Pilkada
dapat dilakukan secara langsung (seperti halnya pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden, disingkat Pilpres) atau secara tidak langsung (oleh DPRD seperti yang dipraktekkan
sebelumnya dan yang diatur dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah). Pembentuk undang-undang, melalui UU No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (selanjutnya disebut UU 32/2004) yang menggantikan UU No. 22 Tahun 1999 rupanya menafsirkan "kepala daerah dipilih secara demokratis"
adalah : "dipilih secara langsung oleh rakyat", sehingga pemilihan
kepala daerah kemudian dikategorikan juga masuk rezim hukum pemilu, terlebih
lagi setelah terbitnya UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan
Umum (selanjutnya disingkat UU 22/2007).
Sebagai suatu
negara demokrasi yang berdasarkan hukum dan sebagai negara hukum yang
demokratis, tentunya pemilu yang demokratis juga
harus menyediakan mekanisme hukum untuk menyelesaikan
kemungkinan adanya pelanggaran-pelanggaran pemilu dan perselisihan mengenai hasil pemilu agar pemilu tetap legitimate.
HALAMAN SELANJUTNYA... 01, 02, 03, 04, 05, 06, 07, 08, 09