5. Alat bukti yang
diperlukan
Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) UU MK, alat bukti dalam
perkara konstitusi meliputi:
a. surat atau tulisan;
b. keterangan saksi;
c. keterangan ahli;
d. keterangan para pihak;
e. petunjuk; dan
f. alat bukti lain berupa informasi yang
diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat
optik atau yang serupa dengan itu.
Pasal 10 s.d. 12 Peraturan Mahkamah
Konstitusi No. 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut PMK 16/2009) menjabarkan lebih lanjut Pasal 36 UUMK bagi perselisihan hasil Pemilu Anggota DPR, DPD,
dan DPRD sebagai berikut:
1) Jenis alat-alat bukti yang diperlukan (Pasal
10 PMK 16/2009):
a. keterangan para pihak;
b. surat atau tulisan; c. keterangan saksi;
c. petunjuk; dan
d. alat bukti lain berupa informasi dan komukasi
elektronik.
2) Macam alat bukti surat
yang mempunyai keterkaitan langsung dengan objek perselisihan dan harus
dibubuhi materai cukup, dapat berupa
(Pasal 11 PMK 16/2009):
a. berita acara dan salinan pengumuman hasil
pemungutan suara di TPS;
b. berita acara dan salinan rekapitulasi jumlah
suara dari PPK;
c. berita acara dan salinan rekapitulasi hasil
penghitungan suara dari KPU kabupaten/kota;
d. berita acara dan salinan penetapan hasil
penghitungan suara anggota DPRD
kabupaten/kota oleh KPU kabupaten/ kota;
e. berita acara dan salinan rekapitulasi hasil
penghitungan suara dari KPU provinsi;
f. berita acara dan salinan penetapan anggota
hasil penghitungan suara anggota DPRD provinsi
oleh KPU provinsi;
g. berita acara dan salinan rekapitulasi hasil
penghitungan suara dari KPU;
h. berita acara dan salinan penetapan hasil
penghitungan suara secara nasional dari KPU;
i. salinan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap yang mempengaruhi
peroleh suara peserta Pemilu;
j. dokumen tertulis lainnya.
3) Saksi dalam perselisihan hasil Pemilu adalah saksi yang
melihat, mendengar, atau mengalami sendiri proses
penghitunga suara yang
diperselisihkan (Pasal 12 PMK 16/2009), yaitu:
a. :
saksi resmi dari
peserta Pemilu;
b. saksi dari Pemantau Pemilu yang
bersertifikat;
c. saksi lain yang dipanggil Mahkamah, seperti
Bawaslu/ Panwaslu, kepolisian.
6. Putusan
Permohonan perselisihan hasil Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD sudah harus diputus oleh Mahkamah
paling lambat 30 hari kerja sejak
permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK) setelah pemeriksaan persidangan selesai dan dibahas dalam Rapat Permusyawaratan Hakim
(RPH).
Putusan diucapkan dalam Sidang Pleno
yang terbuka untuk umum dan dihadiri
oleh minimal 7 (tujuh) orang hakim Konstitusi yang amarnya dapat berupa:
a. permohonan tidak dapat diterima apabila
permohonan tidak memenuhi syarat, baik subjectum litis maupun objectum litis;
b. permohonan ditolak apabila permohonan tidak
beralasan menurut hukum;
c. permohonan dikabulkan apabila beralasan
menurut hukum dan Mahkamah
menetapkan hasil penghitungan suara yang benar.
Putusan Mahkamah tentang perselisihan
hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, dan
DPRD bersifat final dan mengikat, sehingga KPU, KPU provinsi, dan
KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti Putusan Mahkamah.
V.
Penutup
Pemilu yang
demokratis tercermin dalam electoral laws dan electoral process-nya dan MK mempunyai peranan penting untuk menentukan apakah suatu ketentuan mengenai
electoral laws demokratis atau
tidak melalui uji konstitusional UU Pemilu terhadap UUD 1945, sedangkan mengenai electoral
process MK berperan melalui peradilan
perselisihan hasil Pemilu yang akan menilai benar tidaknya hasil penghitungan
suara yang dilakukan oleh KPU.
Apakah Pemilu
Legislatif 2009 benar-benar merupakan Pemilu yang demokratis dan berkualitas akan sangat ditentukan oleh berbagai komponen yang terlibat Pemilu, yaitu
Penyelenggara
Pemilu (KPU
beserta jajarannya), Peserta Pemilu, pengawas Pemilu, dan lembaga peradilan dalam Pemilu yakni
peradilan umum untuk pelanggaran
pidana Pemilu dan MK untuk perselisihan hasil Pemilu.
Dari uraian di
atas juga menunjukkan bahwa tidak ada institusi peradilan yang berwenang untuk menyatakan bahwa Pemilu Legislatif 2009 tidak sah. Institusi
Peradilan Umum (pengadilan negeri dan
pengadilan tinggi) hanya memutus pelanggaran pidana Pemilu, sedangkan Mahkamah Konstitusi hanya
berwenang memutus perselisihan hasil Pemilu antara
Peserta Pemilu dan Penyelenggara
Pemilu (KPU).
Memang tugas MK
adalah mengawal Konstitusi, yang berarti juga mengawal asas pemilu yang
"Luber dan Jurdil" yang tercantum dalam
Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Namun, apakah berbagai pelanggaran Pemilu yang tidak terselesaikan oleh
institusi di luar MK dapat diajukan ke MK dan berimplikasi terhadap putusan MK yang dapat berakibat batalnya seluruh hasil
Pemilu, akan sangat tergantung
bagaimana Peserta Pemilu dapat membuktikan bahwa berbagai pelanggaran Pemilu
memang dilakukan secara sistematis, terstruktur
dan massif yang melampaui batas-batas toleransi.
Bahan Bacaan
Ø
Fadjar, A. Mukthie. 1997. Hukum dan
Penataan Kehidupan Politik di Indonesia, Malang: UMM Press.
Ø
Fadjar, Abdul Mukthie. 2006. Hukum
Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Kontitusi Press.
Ø
Merloe, Patrick. 1994. Unsur-unsur
Pemilihan Umum Demokratis.
Ø
Surbakti, Ramlan, dkk.
2008. Perekayasaan Sistem Pemilihan Umum, Jakarta: Kemitraan.
Ø
Mertokusumo,
Sudikno. 2002. Hukum Acara Perdata Indonesia, Penerbit Liberty
Ø USIA, What is Democracy?. 1991.