Sahabat Intrans Publishing,


Karya Kelompok Intrans Publishing
Setara
Intrans
Madani
Beranda
Empat Dua
Selaksa

Selasa, 31 Januari 2012

HALAMAN 09


5.   Alat bukti yang diperlukan
Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) UU MK, alat bukti dalam perkara konstitusi meliputi:
a.    surat atau tulisan;
b.    keterangan saksi;
c.    keterangan ahli;
d.   keterangan para pihak;
e.    petunjuk; dan
f.     alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.

Pasal 10 s.d. 12 Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut PMK 16/2009) menjabarkan lebih lanjut Pasal 36 UUMK bagi perselisihan hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD sebagai berikut:
1)   Jenis alat-alat bukti yang diperlukan (Pasal 10 PMK 16/2009):
a.    keterangan para pihak;
b.    surat atau tulisan; c. keterangan saksi;
c.    petunjuk; dan
d.   alat bukti lain berupa informasi dan komukasi elektronik.
2)   Macam alat bukti surat yang mempunyai keterkaitan langsung dengan objek perselisihan dan harus dibubuhi materai cukup, dapat berupa (Pasal 11 PMK 16/2009):
a.    berita acara dan salinan pengumuman hasil pemungutan suara di TPS;
b.    berita acara dan salinan rekapitulasi jumlah suara dari PPK;
c.    berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU kabupaten/kota;
d.   berita acara dan salinan penetapan hasil penghitungan suara anggota DPRD kabupaten/kota oleh KPU kabupaten/ kota;
e.    berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU provinsi;
f.     berita acara dan salinan penetapan anggota hasil penghitungan suara anggota DPRD provinsi oleh KPU provinsi;
g.   berita acara dan salinan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari KPU;
h.   berita acara dan salinan penetapan hasil penghitungan suara secara nasional dari KPU;
i.     salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang mempengaruhi peroleh suara peserta Pemilu;
j.     dokumen tertulis lainnya.

3)   Saksi dalam perselisihan hasil Pemilu adalah saksi yang melihat, mendengar, atau mengalami sendiri proses penghitunga suara yang diperselisihkan (Pasal 12 PMK 16/2009), yaitu:
a.   : saksi resmi dari peserta Pemilu;
b.    saksi dari Pemantau Pemilu yang bersertifikat;
c.    saksi lain yang dipanggil Mahkamah, seperti Bawaslu/ Panwaslu, kepolisian.

6.   Putusan
Permohonan perselisihan hasil Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD sudah harus diputus oleh Mahkamah paling lambat 30 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK) setelah pemeriksaan persidangan selesai dan dibahas dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).
Putusan diucapkan dalam Sidang Pleno yang terbuka untuk umum dan dihadiri oleh minimal 7 (tujuh) orang hakim Konstitusi yang amarnya dapat berupa:
a.    permohonan tidak dapat diterima apabila permohonan tidak memenuhi syarat, baik subjectum litis maupun objectum litis;
b.    permohonan ditolak apabila permohonan tidak beralasan menurut hukum;
c.    permohonan dikabulkan apabila beralasan menurut hukum dan Mahkamah menetapkan hasil penghitungan suara yang benar.
Putusan Mahkamah tentang perselisihan hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD bersifat final dan mengikat, sehingga KPU,  KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti Putusan Mahkamah.

 V.      Penutup

Pemilu yang demokratis tercermin dalam electoral laws dan electoral process-nya dan MK mempunyai peranan penting untuk menentukan apakah suatu ketentuan mengenai electoral laws demokratis atau tidak melalui uji konstitusional UU Pemilu terhadap UUD 1945, sedangkan mengenai electoral process MK berperan melalui peradilan perselisihan hasil Pemilu yang akan menilai benar tidaknya hasil penghitungan suara yang dilakukan oleh KPU.
Apakah Pemilu Legislatif 2009 benar-benar merupakan Pemilu yang demokratis dan berkualitas akan sangat ditentukan oleh berbagai komponen yang terlibat Pemilu, yaitu Penyelenggara
Pemilu (KPU beserta jajarannya), Peserta Pemilu, pengawas Pemilu, dan lembaga peradilan dalam Pemilu yakni peradilan umum untuk pelanggaran pidana Pemilu dan MK untuk perselisihan hasil Pemilu.
Dari uraian di atas juga menunjukkan bahwa tidak ada institusi peradilan yang berwenang untuk menyatakan bahwa Pemilu Legislatif 2009 tidak sah. Institusi Peradilan Umum (pengadilan negeri dan pengadilan tinggi) hanya memutus pelanggaran pidana Pemilu, sedangkan Mahkamah Konstitusi hanya berwenang memutus perselisihan hasil Pemilu antara Peserta Pemilu dan Penyelenggara Pemilu (KPU).
Memang tugas MK adalah mengawal Konstitusi, yang berarti juga mengawal asas pemilu yang "Luber dan Jurdil" yang tercantum dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Namun, apakah berbagai pelanggaran Pemilu yang tidak terselesaikan oleh institusi di luar MK dapat diajukan ke MK dan berimplikasi terhadap putusan MK yang dapat berakibat batalnya seluruh hasil Pemilu, akan sangat tergantung bagaimana Peserta Pemilu dapat membuktikan bahwa berbagai pelanggaran Pemilu memang dilakukan secara sistematis, terstruktur dan massif yang melampaui batas-batas toleransi.

Bahan Bacaan

Ø  Fadjar, A. Mukthie. 1997. Hukum dan Penataan Kehidupan Politik di Indonesia, Malang: UMM Press.
Ø  Fadjar, Abdul Mukthie. 2006. Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Kontitusi Press.
Ø  Merloe, Patrick. 1994. Unsur-unsur Pemilihan Umum Demokratis.
Ø  Surbakti, Ramlan, dkk. 2008. Perekayasaan Sistem Pemilihan Umum, Jakarta: Kemitraan.
Ø  Mertokusumo, Sudikno. 2002. Hukum Acara Perdata Indonesia, Penerbit Liberty
Ø  USIA, What is Democracy?. 1991.

HALAMAN SELANJUTNYA... 01, 02, 03, 04, 05, 06, 07, 08, 09

Related Post