II.
Demokrasi dan Pemilihan Umum yang Demokratis
Meskipun oleh
Aristoteles demokrasi dinilai sebagai sistem pemerintahan dan politik yang paling buruk (bad government) dan mudah tergelincir menjadi mobokrasi (government by
mass/mob) atau anarki, namun toh tidak
ada suatu negara yang ingin disebut tidak demokratis atau bukan negara
demokrasi, kendati pun barangkali demokrasinya
diberi tambahan label yang beraneka, misal demokrasi rakyat, demokrasi
terpimpin, demokrasi liberal, demokrasi proletar, demokrasi Pancasila, dan sebagainya, juga mungkin
hakikat demokrasi dan syariat
(mekanisme) demokrasinya berbeda.
Suatu negara
memilih sistem pemerintahan atau sistem politik demokrasi didasarkan atas pertimbangan (Ramlan Surbakti dkk, 2008:8-9):
a.
demokrasi mencegah
tumbuhnya pemerintahan oleh kaum otokratis yang
kejam dan licik;
b. demokrasi menjamin sejumlah hak asasi bagi
warga negara yang tidak diberikan oleh sistem-sistem
yang tidak demokratis;
c. demokrasi lebih menjamin kebebasan pribadi
yang lebih luas;
d. demokrasi membantu orang untuk melindungi kepentingan
pokok mereka;
e. demokrasi memberikan kesempatan
sebesar-besarnya bagi warga Negara untuk
menentukan nasibnya sendiri hidup di bawah hukum
pilihannya;
f. demokrasi memberikan kesempatan
sebesar-besarnya untuk menjalankan
tanggung jawab moral, termasuk akuntabilitas penguasa kepada rakyat;
g. demokrasi membantu perkembangan manusia secara
lebih total;
h. demokrasi membantu perkembangan kadar
persamaan politik yang relatif tinggi;
i. demokrasi modern tidak membawa peperangan
negara penganutnya; dan
j. demokrasi cenderung lebih membawa kemakmuran
bagi negara penganutnya daripada pemerintahan yang
tidak menganut demokrasi.
Salah satu
pendekatan untuk memahami demokrasi dan relevansinya
dengan Pemilu adalah melihat demokrasi dari segi Opini Hakim
Konstitusi lingkup dan intensitas partisipasi
warga negara dalam pembuatan dan pelaksanaan putusan-putusan politik, sehingga
membedakan demokrasi dalam empat
tingkatan (ibid. h. 9-10), yaitu:
1.
Demokrasi
prosedural (Joseph Schumpeter dan Huntington), yang mengandalkan persaingan yang adil dan partisipasi warga negara untuk menentukan wakil rakyat
atau pemimpin pemerintahan
melalui Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan akuntabel,
juga disebut demokrasi minimalis.
2.
Demokrasi
agregatif (Robert Dahl), demokrasi tidak hanya berupa keikutsertaan dalam
Pemilu yang Luber, Jurdil, dan akuntabel, namun
terutama cita-cita, pendapat, preferensi, dan penilaian warga negara yang
menentukan isi undang-undang, kebijakan, dan
tindakan publik lainnya, karena meyakini prinsip
self-government yang mendasari pengambilan keputusan mengenai undang-undang dan kebijakan publik
oleh sebagian besar warga
negara.
3.
Demokrasi
deliberatif (Dennis Thompson, Amy Gutmann), berpandangan bahwa undang-undang
dan kebijakan publik haruslah dirumuskan berdasarkan alasan dan pertimbangan yang dapat diterima oleh semua warga negara
secara rasional, karena menekankan
pentingnya otonomi, persamaan, dan kesetaraan
individu, sehingga disebut juga reasoned rule.
4. Demokrasi partisipatoris (Benyamin Barber), menyetujui penting nilai-nilai demokrasi seperti self-government, persamaan/ kesetaraan politik, dan reasoned rule, namun juga menekankan pada parisipasi seluruh warga negara yang berhak memilih terlibat secara langsung dalam pengambilan keputusan.
4. Demokrasi partisipatoris (Benyamin Barber), menyetujui penting nilai-nilai demokrasi seperti self-government, persamaan/ kesetaraan politik, dan reasoned rule, namun juga menekankan pada parisipasi seluruh warga negara yang berhak memilih terlibat secara langsung dalam pengambilan keputusan.