Sahabat Intrans Publishing,


Karya Kelompok Intrans Publishing
Setara
Intrans
Madani
Beranda
Empat Dua
Selaksa

Selasa, 31 Januari 2012

HALAMAN 02


 II.      Demokrasi dan Pemilihan Umum yang Demokratis

Meskipun oleh Aristoteles demokrasi dinilai sebagai sistem pemerintahan dan politik yang paling buruk (bad government) dan mudah tergelincir menjadi mobokrasi (government by mass/mob) atau anarki, namun toh tidak ada suatu negara yang ingin disebut tidak demokratis atau bukan negara demokrasi, kendati pun barangkali demokrasinya diberi tambahan label yang beraneka, misal demokrasi rakyat, demokrasi terpimpin, demokrasi liberal, demokrasi proletar, demokrasi Pancasila, dan sebagainya, juga mungkin hakikat demokrasi dan syariat (mekanisme) demokrasinya berbeda.
Suatu negara memilih sistem pemerintahan atau sistem politik demokrasi didasarkan atas pertimbangan (Ramlan Surbakti dkk, 2008:8-9):
a.    demokrasi mencegah tumbuhnya pemerintahan oleh kaum otokratis yang kejam dan licik;
b.    demokrasi menjamin sejumlah hak asasi bagi warga negara yang tidak diberikan oleh sistem-sistem yang tidak demokratis;
c.    demokrasi lebih menjamin kebebasan pribadi yang lebih luas;
d.   demokrasi membantu orang untuk melindungi kepentingan pokok mereka;
e.    demokrasi memberikan kesempatan sebesar-besarnya bagi warga Negara untuk menentukan nasibnya sendiri hidup di bawah hukum pilihannya;
f.     demokrasi memberikan kesempatan sebesar-besarnya untuk menjalankan tanggung jawab moral, termasuk akuntabilitas penguasa kepada rakyat;
g.   demokrasi membantu perkembangan manusia secara lebih total;
h.   demokrasi membantu perkembangan kadar persamaan politik yang relatif tinggi;
i.     demokrasi modern tidak membawa peperangan negara penganutnya; dan
j.     demokrasi cenderung lebih membawa kemakmuran bagi negara penganutnya daripada pemerintahan yang tidak menganut demokrasi.
Salah satu pendekatan untuk memahami demokrasi dan relevansinya dengan Pemilu adalah melihat demokrasi dari segi Opini Hakim Konstitusi lingkup dan intensitas partisipasi warga negara dalam pembuatan dan pelaksanaan putusan-putusan politik, sehingga membedakan demokrasi dalam empat tingkatan (ibid. h. 9-10), yaitu:
1.   Demokrasi prosedural (Joseph Schumpeter dan Huntington), yang mengandalkan persaingan yang adil dan partisipasi warga negara untuk menentukan wakil rakyat atau pemimpin pemerintahan melalui Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan akuntabel, juga disebut demokrasi minimalis.
2.   Demokrasi agregatif (Robert Dahl), demokrasi tidak hanya berupa keikutsertaan dalam Pemilu yang Luber, Jurdil, dan akuntabel, namun terutama cita-cita, pendapat, preferensi, dan penilaian warga negara yang menentukan isi undang-undang, kebijakan, dan tindakan publik lainnya, karena meyakini prinsip self-government yang mendasari pengambilan keputusan mengenai undang-undang dan kebijakan publik oleh sebagian besar warga negara.
3.   Demokrasi deliberatif (Dennis Thompson, Amy Gutmann), berpandangan bahwa undang-undang dan kebijakan publik haruslah dirumuskan berdasarkan alasan dan pertimbangan yang dapat diterima oleh semua warga negara secara rasional, karena menekankan pentingnya otonomi, persamaan, dan kesetaraan individu, sehingga disebut juga reasoned rule.  
4. Demokrasi partisipatoris (Benyamin Barber), menyetujui penting nilai-nilai demokrasi seperti self-government, persamaan/ kesetaraan politik, dan reasoned rule, namun juga menekankan pada parisipasi seluruh warga negara yang berhak memilih terlibat secara langsung dalam pengambilan keputusan.


HALAMAN SELANJUTNYA... 01, 02, 03, 04, 05, 06, 07, 08, 09

Related Post