2. Pelanggaran Pidana Pemilu
Pengaturan mengenai Pelanggaran
Pidana Pemilu dalam UU 10/2008 tercantum dalam Pasal 252
sampai dengan Pasal 259 sebagai berikut:
·
Pasal 252: "Pelanggaran pidana Pemilu adalah pelanggaran terhadap ketentuan
pidana Pemilu yang diatur dalam Undang-Undang ini yang penyelesaiannya
dilaksanakan melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum".
Dengan demikian, ketentuan yang tercantum dalam Pasal 260 sampai dengan Pasal
311 UU 10/2008 (51 pasal) adalah ketentuan Pidana Pemilu yang apabila dilanggar
akan dikategorikan sebagai pelanggaran pidana Pemilu.
·
Pasal 253:
1) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia menyampaikan hasil penyidikannya disertai
berkas perkara kepada penuntut
umum paling lama 14 (empat belas) hari sejak menerima laporan dari Bawaslu,
Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota.
2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum
lengkap, dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari
penuntut umum mengembalikan
berkas perkara kepada penyidik kepolisian disertai petunjuk
tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi.
3) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia
dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak
tanggal penerimaan berkas sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) harus sudah menyampaikan
kembaliberkas perkara tersebut kepada penuntut umum.
4) Penuntut umum melimpahkan berkas perkara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
pengadilan negeri paling lama 5 (lima) hari
sejak menerima berkas perkara.
Ketentuan Pasal 253
UU 10/2008 ini lemuat tenggang waktu yang dibutuhkan
dalam proses penyampaian hasil penyidikan kepada penuntut umum
(termasuk perbaikannya) hingga pelimpahan berkas perkara ke pengadilan negeri
mengenai pelanggaran pidana Pemilu, yaitu
secara keseluruhan memakan waktu 14 hari + 3 hari + 3 hari + 5 hari = 25 hari.
·
Pasal 254:
1) Pengadilan negeri dalam memeriksa, mengadili,
dan memutus perkara pidana Pemilu menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
2) Sidang pemeriksaan perkara pidana Pemilu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
hakim khusus.
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hakim khusus
diatur dengan peraturan Mahkamah Agung.
·
Pasal 255:
1) Pengadilan negeri memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara pidana Pemilu paling lama 7 (tujuh) hari setelah pelimpahan perkara.
2) Dalam hal terhadap putusan pengadilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
banding, permohonan banding diajukan
paling lama 3 (tiga) hari setelah putusan dibacakan.
3) Pengadilan negeri melimpahkan berkas perkara permohonan banding kepada pengadilan tinggi
paling lama 3 (tiga) hari setelah permohonan
banding diterima.
4) Pengadilan tinggi memeriksa dan memutus
perkara banding sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) paling lama 7 (tujuh) hari setelah permohonan banding
diterima.
5) Putusan pengadilan tinggi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) merupakan putusan terakhir dan mengikat serta tidak ada upaya hukum lain.
Pasal 255 UU
10/2008 ini memuat tenggang waktu yang dibutuhkan untuk
proses peradilan perkara pidana Pemilu yang secara
keseluruhan (termasuk putusan banding) memakan waktu 7
hari + 3 hari + 3 hari + 7 hari = 20 hari.
·
Pasal 256:
1) Putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 255 ayat (1) dan ayat (4) harus sudah
disampaikan kepada penuntut umum paling lambat 3 (tiga) hari setelah putusan dibacakan.
2) Putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 255 harus dilaksanakan paling lambat 3
(tiga) hari setelah putusan diterima
oleh jaksa.
Pasal 256 UU 10/2008 ini memuat tenggang waktu
penerimaan putusan pengadilan
oleh penuntut umum dan eksekusinya yang memakan waktu
6 (enam) hari.
·
Pasal 257:
1) Putusan pengadilan terhadap kasus pelanggaran
pidana Pemilu yang menurut
Undang-Undang ini dapat mempengaruhi perolehan suara Peserta Pemilu harus
selesai paling lama 5 (lima) hari sebelum
KPU menetapkan hasil Pemilu secara nasional.
2) KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota
wajib menindaklanjuti putusan pengadilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3) Salinan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud
padaayat (1) harus sudah diterima KPU,KPU provinsi,
atau KPU kabupaten/ kota dan Peserta
pemilu pada hari putusan pengadilan tersebut dibacakan.
Pasal 257 UU
10/2008 ini memuat tenggang waktu putusan pengadilan terhadap kasus pelanggaran
pidana Pemilu yang mempengaruhi
perolehan suara Peserta Pemilu, yaitu 5 (lima) hari sebelum KPU menetapkan
hasil Pemilu secara nasional. Jadi, untuk Pemilu Legislatif 2009 yang
pemungutan suaranya tanggal 9 April 2009, menurut Pasal 201 ayat (1) UU 10/2008
paling lambat 30 hari setelah tanggal
pemungutan suara, yaitu tanggal 9 Mei
2009, KPU sudah harus menetapkan hasil Pemilu secara
nasional. Kelemahan Pasal 257 ayat (1) ini adalah tidak menjelaskan pelanggaran pidana Pemilu
mana saja yang dikategorikan dapat
mempengaruhi hasil perolehan suara Peserta Pemilu, sehingga
dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda
antara Bawaslu/Panwaslu, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, serta juga Peserta
Pemilu.
Dari ketentuan
mengenai pelanggaran pidana Pemilu yang tercantum dalam
Pasal 252 sampai dengan Pasal 257 UU 10/2008 khususnya yang terkait dengan pelanggaran pidana Pemilu yang mempengaruhi perolehan suara Peserta Pemilu
yang potensial dapat menjadi
kasus yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi sebagai perkara perselisihan hasil Pemilu dapat dikemukakan catatan sebagai berikut:
a. Bahwa dibutuhkan waktu untuk proses
penyelesaian mulai dari penyidikan,
penuntutan, dan peradilan (termasuk banding) sebanyak 25 hari + 20 hari = 45 hari. Apabila penetapan hasil Pemilu secara nasional oleh KPU dilakukan
tanggal 9 Mei 2009, maka tanggal 4 Mei 2009 perkara pidana Pemilu yang mempengaruhi perolehan suara sudah harus
diputus, yang berarti proses
peradilan pidana Pemilu sudah berlangsung 45 hari sebelumnya, yaitu kira-kira mulai tanggal 20 Maret 2009.
b. Dari kenyataan sebagaimana dikemukakan pada
huruf a di atas berarti berbagai pelanggaran
pidana Pemilu yang mempengaruhi
perolehan suara Peserta Pemilu dalam kurun waktu antara kampanye Pemilu terbuka (16 Maret 2009) hingga tanggal pemungutan suara (9 April 2009) secara
teoritis dapat diselesaikan, asalkan aparat penegak hukum Pemilu (Bawaslu/ Panwaslu, kepolisian, kejaksaan, dan
pengadilan negeri/ pengadilan tinggi)
bekerja secara maksimal dan profesional, meskipun mungkin tidak
sepenuhnya dapat diselesaikan karena berbagai faktor.
c. Tiadanya kejelasan mengenai "apa yang termasuk pelanggaran
pidana Pemilu yang mempengaruhi perolehan suara Peserta Pemilu" akan
menimbulkan perbedaan tafsir dikalangan aparat penegak hukum Pemilu.
d. Tidak dapat diselesaikannya berbagai
pelanggaran pidana Pemilu, baik yang
mempengaruhi hasil Pemilu maupun tidak akan menyebabkan
permasalahan berbagai pelanggaran Pemilu dibawa ke
forum Mahkamah Konstitusi, suatu hal yang semestinya tidak perlu terjadi.