IV.
Penyelesaian Hukum Perselisihan Hasil Pemilu Legislatif 2009
Seperti kita
ketahui, bahwa berbeda dengan Pemilu-pemilu yang berlangsung sebelum Perubahan UUD 1945 yang tidak dapat dipersoalkan hasilnya oleh Peserta Pemilu,
sesudah Perubahan UUD 1945, Pemilu yang
diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri, dapat dipersoalkan
hasilnya oleh Peserta Pemilu di forum Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai "perselisihan hasil Pemilu".
UUD 1945 tidak
menegaskan tentang pengertian dan ruang lingkup mengenai
apa yang dimaksud dengan "perselisihan hasil pemilihan umum" yang tercantum dalam
Pasal 24C ayat (1), sehingga
undang-undanglah yang kemudian mengaturnya, yakni UU MK, UU 10/2008 tentang
Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, UU 42/2008
tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dan UU 32/2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU 12/2008.
Pasal 74 ayat (2)
UU MK memberikan pengertian bahwa perselisihan hasil
pemilu adalah perselisihan mengenai "penetapan hasil pemilihan umum yang dilakukan secara
nasional oleh KPU" yang mempengaruhi:
a. terpilihnya calon anggota DPD;
b. penentuan pasangan calon yang masuk pada
putaran kedua pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden;
c. perolehan kursi partai politik peserta Pemilu
di suatu daerah pemilihan.
Kalau kita cermati,
ketentuan Pasal 74 ayat (2) UU MK hanya berkaitan dengan perselisihan
hasil Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD serta perselisihan hasil Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden, belum menjangkau
mengenai perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pemilukada). Hal itu dapat dimengerti, karena yang menjadi kewenangan
konstitusional MK untuk memutus perselisihan hasil Pemilu sebagaimana dimaksud
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 adalah hasil Pemilu yang dimaksud dalam Pasal 22E
ayat (2) UUD 1945, yaitu Pemilu anggota DPR, DPD, presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD.
Tentang
perselisihan hasil Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD, Pasal 258 UU 10/2008 menyatakan:
1) Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan
antara KPU dan Peserta Pemilu
mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara
nasional.
2) Perselisihan penetapan perolehan suara hasil
Pemilu secara nasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah
perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat mempengaruhi perolehan kursi Peserta Pemilu.
Berikut ini
mekanisme hukum penyelesaian mengenai perselisihan hasil
Pemilu Legislatif di Mahkamah Konstitusi sesuai dengan
ketentuan UU 24/2003 juncto Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 16 Tahun 2009 Tentang
Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (disingkat PMK 16/2009).
1. Para Pihak dalam perselisihan (Subjectum
Litis)
Di atas telah dikemukakan bahwa perselisihan
hasil Pemilu adalah perselisihan antara Peserta
Pemilu dan KPU sebagai Penyelenggara
Pemilu. Menurut Pasal 7 UU 10/2008, Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah partai politik,
sedangkan Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan (Pasal
11 UU 10/2008). Penyelenggara Pemilu Anggota
DPR, DPD, dan DPRD menurut Pasal 6 UU
10/2008 adalah KPU.
Dengan demikian, para pihak dalam
perselisihan hasil Pemilu Anggota DPR, DPD,
dan DPRD adalah:
a. Partai politik dan/atau perseorangan peserta
Pemilu sebagai pihak Pemohon;
b. KPU sebagai pihak Termohon.
Selain Pemohon dan
Termohon, ada kemungkinan Peserta Pemilu yang tidak menjadi pemohon
berkepentingan terhadap perselisihan hasil
Pemilu yang sedang diperiksa dan diadili oleh MK, sebab dapat saja putusan MK berpengaruh
kepada perolehan suara peserta Pemilu lainnya. Oleh karena itu, dalam Pasal 3
ayat (4) PMK 16/2009, peserta Pemilu selain
Pemohon dapat melakukan intervensi dalam
persidangan, baik atas permintaan sendiri atau atas undangan MK, dan mereka diposisikan sebagai Pihak Terkait. Baik
Pemohon, Termohon, maupun pihak-pihak terkait mempunyai hak-hak yang sama dalam proses persidangan,
seperti misalnya dalam memberi keterangan dan pengajuan alat-alat bukti. Pada dasarnya untuk semua perkara Konstitusi, MK
juga menganut asas hukum acara yang lazim berlaku, yaitu
asas "audi et alteram partem" atau "Eines Mannes Rede ist keines Mannes Rede, man soll
sie horen alle beide", yang berarti bahwa hakim tidak boleh menerima
keterangan dari salah satu pihak sebagai benar, bila pihak lawan tidak didengar
atau tidak diberi kesempatan untuk
mengeluarkan pendapatnya, termasuk
dalam pengajuan alat-alat bukti (Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, 2002 : 15).
Bagi Pemohon partai politik, MK
menentukan bahwa yang mewakilinya adalah dewan pimpinan pusat atau apapun namanya menurut AD/ART parpol yang bersangkutan. Baik Pemohon, Termohon,
maupun Pihak Terkait dapat diwakili
oleh kuasa hukumnya yang mendapat surat kuasa khusus untuk itu.
2. Materi yang diperselisihkan (Objectum
Litis)
Baik berdasarkan UUMK maupun
berdasarkan UU 10/2008, yang menjadi objek perselisihan antara Peserta Pemilu
dan KPU sebagai Penyelenggara PemiluAnggota DPR, DPD, dan DPRD
adalah "penetapan secara nasional oleh
KPU mengenai penghitungan suara hasil Pemilu" yang mempengaruhi:
a. perolehan kursi DPR/DPRD provinsi/DPRD
kabupaten/kota suatu parpol
Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan;
b. terpilihnya perseorangan calon anggota DPD
dari suatu provinsi.
Akan tetapi, khusus untuk penentuan kursi anggota
DPR, menurut Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008
dianut prinsip parliamentary threshold, yakni suatu Parpol Peserta Pemilu harus
memenuhi ambang batas perolehan suara minimal 2,5% (dua koma lhma perseratus) dari jumlah suara sah secara
nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR. Hal tersebut
berarti bahwa ada kemungkinan
perselisihan hasil Pemilu akan terkait dengan perolehan suara Parpol Peserta
Pemilu untuk memenuhi ambang batas 2,5%.
Secara singkat akan diuraikan bagaimana
perolehan kursi Peserta Pemilu
disuatu Daerah Pemilihan (Dapil) menurut UU 10/2008 sebagai berikut: