Sahabat Intrans Publishing,


Karya Kelompok Intrans Publishing
Setara
Intrans
Madani
Beranda
Empat Dua
Selaksa

Selasa, 31 Januari 2012

HALAMAN 06


 IV.      Penyelesaian Hukum Perselisihan Hasil Pemilu Legislatif 2009

Seperti kita ketahui, bahwa berbeda dengan Pemilu-pemilu yang berlangsung sebelum Perubahan UUD 1945 yang tidak dapat dipersoalkan hasilnya oleh Peserta Pemilu, sesudah Perubahan UUD 1945, Pemilu yang diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri, dapat dipersoalkan hasilnya oleh Peserta Pemilu di forum Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai "perselisihan hasil Pemilu".
UUD 1945 tidak menegaskan tentang pengertian dan ruang lingkup mengenai apa yang dimaksud dengan "perselisihan hasil pemilihan umum" yang tercantum dalam Pasal 24C ayat (1), sehingga undang-undanglah yang kemudian mengaturnya, yakni UU MK, UU 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, UU 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dan UU 32/2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU 12/2008.
Pasal 74 ayat (2) UU MK memberikan pengertian bahwa perselisihan hasil pemilu adalah perselisihan mengenai "penetapan hasil pemilihan umum yang dilakukan secara nasional oleh KPU" yang mempengaruhi:
a.    terpilihnya calon anggota DPD;
b.    penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden;
c.    perolehan kursi partai politik peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan.
Kalau kita cermati, ketentuan Pasal 74 ayat (2) UU MK hanya berkaitan dengan perselisihan hasil Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD serta perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, belum menjangkau mengenai perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pemilukada). Hal itu dapat dimengerti, karena yang menjadi kewenangan konstitusional MK untuk memutus perselisihan hasil Pemilu sebagaimana dimaksud Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 adalah hasil Pemilu yang dimaksud dalam Pasal 22E ayat (2) UUD 1945, yaitu Pemilu anggota DPR, DPD, presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD.
Tentang perselisihan hasil Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD, Pasal 258 UU 10/2008 menyatakan:
1)   Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional.
2)   Perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat mempengaruhi perolehan kursi Peserta Pemilu.
Berikut ini mekanisme hukum penyelesaian mengenai perselisihan hasil Pemilu Legislatif di Mahkamah Konstitusi sesuai dengan ketentuan UU 24/2003 juncto Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (disingkat PMK 16/2009).

1.   Para Pihak dalam perselisihan (Subjectum Litis)
Di atas telah dikemukakan bahwa perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara Peserta Pemilu dan KPU sebagai Penyelenggara Pemilu. Menurut Pasal 7 UU 10/2008, Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah partai politik, sedangkan Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan (Pasal 11 UU 10/2008). Penyelenggara Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD menurut Pasal 6 UU 10/2008 adalah KPU.
Dengan demikian, para pihak dalam perselisihan hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD adalah:
a.    Partai politik dan/atau perseorangan peserta Pemilu sebagai pihak Pemohon;
b.    KPU sebagai pihak Termohon.
Selain Pemohon dan Termohon, ada kemungkinan Peserta Pemilu yang tidak menjadi pemohon berkepentingan terhadap perselisihan hasil Pemilu yang sedang diperiksa dan diadili oleh MK, sebab dapat saja putusan MK berpengaruh kepada perolehan suara peserta Pemilu lainnya. Oleh karena itu, dalam Pasal 3 ayat (4) PMK 16/2009, peserta Pemilu selain Pemohon dapat melakukan intervensi dalam persidangan, baik atas permintaan sendiri atau atas undangan MK, dan mereka diposisikan sebagai Pihak Terkait. Baik Pemohon, Termohon, maupun pihak-pihak terkait mempunyai hak-hak yang sama dalam proses persidangan, seperti misalnya dalam memberi keterangan dan pengajuan alat-alat bukti. Pada dasarnya untuk semua perkara Konstitusi, MK juga menganut asas hukum acara yang lazim berlaku, yaitu asas "audi et alteram partem" atau "Eines Mannes Rede ist keines Mannes Rede, man soll sie horen alle beide", yang berarti bahwa hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar, bila pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya, termasuk dalam pengajuan alat-alat bukti (Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, 2002 : 15).
Bagi Pemohon partai politik, MK menentukan bahwa yang mewakilinya adalah dewan pimpinan pusat atau apapun namanya menurut AD/ART parpol yang bersangkutan. Baik Pemohon, Termohon, maupun Pihak Terkait dapat diwakili oleh kuasa hukumnya yang mendapat surat kuasa khusus untuk itu.

2.   Materi yang diperselisihkan (Objectum Litis)
Baik berdasarkan UUMK maupun berdasarkan UU 10/2008, yang menjadi objek perselisihan antara Peserta Pemilu dan KPU sebagai Penyelenggara PemiluAnggota DPR, DPD, dan DPRD adalah "penetapan secara nasional oleh KPU mengenai penghitungan suara hasil Pemilu" yang mempengaruhi:
a.    perolehan kursi DPR/DPRD provinsi/DPRD kabupaten/kota suatu parpol Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan;
b.    terpilihnya perseorangan calon anggota DPD dari suatu provinsi.
Akan tetapi, khusus untuk penentuan kursi anggota DPR, menurut Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 dianut prinsip parliamentary threshold, yakni suatu Parpol Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara minimal 2,5% (dua koma lhma perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR. Hal tersebut berarti bahwa ada kemungkinan perselisihan hasil Pemilu akan terkait dengan perolehan suara Parpol Peserta Pemilu untuk memenuhi ambang batas 2,5%.
Secara singkat akan diuraikan bagaimana perolehan kursi Peserta Pemilu disuatu Daerah Pemilihan (Dapil) menurut UU 10/2008 sebagai berikut:

HALAMAN SELANJUTNYA... 01, 02, 03, 04, 05, 06, 07, 08, 09

Related Post