Sahabat Intrans Publishing,


Karya Kelompok Intrans Publishing
Setara
Intrans
Madani
Beranda
Empat Dua
Selaksa

Jumat, 14 Desember 2012

Bali Antah Berantah: Refleksi di Dunia Hampa Makna Pariwisata

Oleh I Wayan Suyadnya
Judul Buku:  Bali Antah Berantah: Refleksi di Dunia Hampa Makna Pariwisata
Penulis: I Ngurah Suryawan
Penerbit: Intrans Publishing Malang
Tahun Terbit: November 2010
Jumlah halaman: 235 + XVIII


Buku karya I Ngurah Suryawan “Bali Antah Berantah: Refleksi di Dunia Hampa Makna Pariwisata”  adalah sebuah studi refleksi dari kasus-kasus yang terjadi di Bali khususnya dan di tempat lain umumnya. Dalam buku ini, dengan ketajaman naratifnya, Suryawan menguraikan bagaimana masyarakat Bali kian hari demi hari tergusur secara sosial, ekonomi dan kultural dari tanah leluhurnya. Tanah yang dianggap sebagai sebuah bentuk ikatan sosial dan budaya, yang bernilai spritual tergadaikan begitu saja untuk mendukung program pembangunan pariwisata dan pemuasan gaya hidup. Suryawan melukiskan peristiwa ini dengan sebuah dialog bisu antara “I Ketut Pugeg” (gambaran kultural manusia Bali di persimpangan jalan) dengan gemerlapnya dunia pariwisata (h.2-3). Dalam dialog tersebut, buku ini memperlihatkan kepada kita bahwa dalam suatu masyarakat akan selalu ada ruang “abu-abu”.Ruang yang selama ini kurang dipahami oleh orang luar, barangkali pemerintah dan investor pariwisata.

Sesungguhnya bagi orang Bali, keberadaan ruang-ruang komunikasi historis tersebut adalah sebuah pertautan atau rangkaian jaringan hubung`n yang kompleks. Inilah yang dipotret dengan sangat cermat oleh Suryawan dengan studinya mengenai pergulatan manusia Bali di Garda depan pariwisata Bali (Baca: Indonesia). Koleksi tulisan dalam buku ini sebenarnya tidak terbatas pada studi mengenai budaya dan pariwisata saja sebagaimana yang dapat dilihat dari judul buku ini, akan tetapi tulisan-tulisan ini jika ditelusuri dari halaman ke halaman, bab ke bab, menunjukkan bahwa tulisan ini menembus kajian sejarah,  sosial, budaya, politik, kajian post kolonial dan masalah-masalah kemanusian. Dengan kata lain, buku ini kaya akan perspektif.


Membaca “Bali Antah Berantah ini”, saya menggarisi beberapa hal yang menurut saya penting, yang dicoba untuk disampaikan oleh Suryawan kepada pembacanya. Pertama, saya menilai buku ini kaya akan perspektif. Perspektif tersebut berangkat dari sudut pandang sosial, budaya, politik (kekerasan) dan kekerasan fisik yang dialami manusia Bali secara historis. Kekerasan-kerasan yang berdimensi politik tersebut terjadi dalam periode waktu lama mulai dari masa kolonialisme Belanda, konflik tahun 1965 sampai dengan kasus Bom Bali I dan 2. Disinilah kekuatan pertama buku ini, yaitu membangun ketertarikan historis dari setiap pembahasannya, sehingga buku ini kaya akan catatan sejarah yang berguna untuk memudahkan orang lain membacanya. Kedua, secara khusus pada bab akhir bukunya, Suryawan mengingatkan kembali dengan sikap kritis tentang  politik kepemilikan (politics of belonging) yang diterjemahkannya sebagai bentuk pencarian identitas orang Bali. Dalam bahasanya memunculkan sebuah bentuk dikotomi “masyarakat asli” dan “masyarakat pendatang” (kerama tamiu). Konflik demi konflik diuraikan mulai dari kecurigaan membawa aliran ideologis agama tertentu sampai dengan kecemburuan ekonomi menjadi bahan analisis dalam buku ini. Ketiga buku ini memotret masalah pencarian identitas Kebalian orang Bali dengan menguraikan konteks atas munculnya kesadaran sekelompok intelektual Bali dengan gerakan Ajeg Bali-nya. Sebagai penutup buku ini, tentu saja Suryawan memberikan refleksi keadaan manusia Bali dalam kondisi yang ia sebut dengan “antah berantah”.

Catatan Suryawan yang paling penting dalam buku ini menurut saya terletak pada sudut keberanian untuk melakukan penulisan ulang sejarah tentang Bali yang lebih kirtis dan memiliki kebenaran secara ilmiah, dalam tulisan ini dikhususkan pada peran pemerintah Belanda dengan praktik kolonial-nya. Seperti yang telah dipaparkan oleh penulisnya dalam buku tersebut, pengaruh praktek kolonialisme tidak dapat dipungkiri telah memberikan bentuk dasar mengenai penggambaran budaya masyarakat Bali waktu itu sampai dengan sekarang. Bali, sebagai bagian dari daerah kolonialisme, adalah arena – istilah penulisnya pentas – dari pertarungan kuasa dan praktek kolonialisasi Belanda (h.21).

Ruang pembentukan identitas orang Bali tersebut, bagi saya, dimulai sejak zaman kolonialisme dan kemudian semakin lama terkonstruksi dari tahun ke tahun dalam bentuk pengemasan tradisi, ritual dan jargon-jargon budaya. Pengemasan politik kebudayaan ini adalah merupakan sebuah bentuk strategi membangun identitas dan menerapkan aturan batas (borders) yang ketat dalam buaday Bali. Pemerintah kolonial, dengan sala satu tujuannya memperkuat image Belanda di pentas internasional, memerintahkan kepada antropolog-nya, FA Liefrink (1890) dan VE Korn (1920), untuk mempelajari Bali dan kemudian memberikan masukan untuk melakukan konstruksi identitas orang Bali. Sehingga tidak salah kritik yang dilontarkan oleh Vikers (1989) bahwa Bali adalah sebuah bentuk proyek kolonialisme. Proyek penciptaan image Bali sebagai pulau sorga dengan keramahtamahan budayanya. Kedatangan antropolog-antropolog pada tahun-tahun berikutnya kembali memperkuat eksotisme Bali sehingga tetap terpelihara di dunia internasional. Ekostisme ini disadari atau tidak telah membangun sebuah identitas koloektif dalam masyarakat Bali dan juga beban bagi masyarakat Bali.

Pada masa kolonial bentuk proyek-proyek yang berbau revitalisasi dan pemurnian kebudayaan Bali (baliseering) dalam rangka membentuk identitas orang Bali dimunculkan. Dengan maksud politis untuk membedakan dengan identitas yang berkembang di Jawa (nasionalisme untuk menentang praktik kolonialisme). Dengan kata lain, identitas tersebut dibangun ebagai counter budaya jawa (islam). Proyek pembangunan identitas dibentuk dengan melakukan kerjasama dengan kelompok elite masyarakat Bali. Untuk menyakinkan itu, studi Picard (1996), memberikan gambaran kuat bahwa identitas kebalian orang Bali yaitu berupa agama hindu, adat, dan kesenian (art) adalah bentuk produksi budaya dari praktik kolonialisme yang sampai sekarang terus berkembang. Bagi saya, bentuk identitas yang dibangun oleh praktik kolonialisme itu telah mengakibatkan adanya ruang sempit atas interaksi budaya Bali dengan budaya lain yang sekian lama sudah tumbuh di Bali. Dengan kata lain, pengakuan akan identitas yang dibangun oleh orang luar tersebut merupakan sebuah bentuk pengingkaran akan kelompok-kelompok lain seperti budaya Bali islam, kristen dan budha yang tumbuh subur di Bali, jauh sebelum praktik kolonialisme muncul untuk menerapkan kuasa politisnya.

Paparan mengenai peristiwa 1965 memberikan gambaran siapa manusia Bali itu sebenarnya.  Apakah manusia Bali itu seperti yang digambarkan oleh Covarruvibias (1972) sebagai pribadi yang lembut, tenang, bersahabat dan selalu menghindari konflik itu benar adanya? Disinilah sisi eksotisme yang selama ini melekat tentang Bali tersebut dibongkar dengan habis. Secara historis konstelasi politik nasional pada persitiwa 1965 di Indonesia (Bali) saat itu digerakkan oleh serangkain gerakan yang sistematis dengan melibatkan berbagai macam kepentingan dari kelompok yang berkuasa. Bentuk relasi kekuasaan saat itu melibatkan institusi militer yang bekerjasama dengan penduduk lokal dalam melakukan identifikasi, verifikasi dan juga tindakan pelenyapan orang-orang yang terduga sebagai anggota partai komunis. Di Bali, berdasarkan atas studi yang dilakukan oleh Robinson (2006), tercatat lebih dari 500.000 jiwa dilenyapkan oleh saudara-saudara dan anggota klan-klan mereka sendiri. Studh Suryawan terdahuluLadang Hitam di Pulau Dewa: Pembantaian Massa 1965 di Bali (2007) dan Genealogi Kekerasan dan Pergolakan Subaltern: Bara di Bali Utara (2010) menguraikan praktik-praktik politik dalam kebudayaan masyarakat Bali. Disinilah buku ini mengajak untuk meminjam dekonstruksi sebagai pisau analisisnya.

Pada saat terjadinya Bom Bali I dan 2, kembali kita disuguhkan sebuah fenomena bagaimana kejadian tersebut semakin memformulasikan identitas kebalian yang selama ini terjadi. Mobilisasi adat dalam praktik di luar adat adalah sebuah bentuk gejala post-kolonial. Masih ingat, bahwa dalam tulisannya Suryawan mengilustrasikan bagaimana pecalang bergerak dari satu rumah ke rumah lain untuk melakukan razia tanda pengenal atau KTP. Sekelompok intelektual Bali menerjemahkan momentum ini dengan Ajeg Bali. Gerakan yang bertujuan mengamankan kepentingan masyarakat Bali asli berupa kepentingan politik, sosial, dan ekonomi (pariwisata) dari masyarakat “luar” atau kerama tamiu. Gejala-gejala kontemporer ini dalam antropologi politik seringkali diterjemahkan dengan bentuk menguatnya rasa ke-lokal-an dan kepemilikan akan sesuatu yang immateriil. Dari praktik sosial demikian, rasa kepemilikan (sense of belonging) orang Bali akan praktik budaya mereka merupakan sebuah bentuk bagaimana praktik kolonialisme itu begitu kuatnya ada dalam memori orang  Bali. Praktek-praktek kelokalan tersebut secara nyata saat ini dapat dilihat pasca desentralisasi atau otonomi daerah. Otonomi daerah, seperti terjadi di Bali, menjadi ajang subur tumbuhnya kekuatan-kekuatan massa tradisional (seperti pecalang) yang memiliki kewenangan berlebihan. Kewenangan berlebihan ini muncul sebagai akibat melemahnya peran negara dan menguatnya lokalitas tersebut.

Sebagai akhir dari buku ini, Suryawan membawa kita pada sebuah upaya untuk melakukan suatu dekonstruksi dalam melihat budaya orang Bali. Baginya, dengan melakukan dekonstruksi kesadaran akan identitas orang Bali maka dapat dengan jelas mendudukkan posisi orang Bali dan kebudayaanya (h.184). Bagi saya, kekuatan buku ini adalah meletakkan jalan dimana orang Bali diajak untuk berpikir secara kritis tentang budaya dan pariwisata. Dua hal yang selama ini dikatakan selalu bersinergi dalam pembangunan di Bali baik itu dalam sisi spritual (agama, adat dan kesenian) ataupun pembangunan ekonomi. Dengan bahasannya ke arah konteks politik, budaya, ekonomi dan historis, gambaran-gambaran yang muncul di dalamnya selalu memunculkan isu kekinian dalam realitas masyarakat Bali. Secara akademis, buku ini akan memberikan nilai kepada akademisi yang mengambil kosentrasi studi masyarakat Bali. Buku ini juga kuat untuk menggambarkan studi native antropologis mengenai orang Bali yang berusaha dengan kejelian dan pemahamannya yang lebih melihat Bali dari perspektif kritis.

(Bali Post, 19 Desember 2010)
I Wayan Suyadnya, Kandidat Doktor Ilmu Sosial Georg-August Universitaet Goettingen, Jerman;
Dosen FISIP, Universitas Brawijaya Malang.


Related Post