Sahabat Intrans Publishing,


Karya Kelompok Intrans Publishing
Setara
Intrans
Madani
Beranda
Empat Dua
Selaksa

Kamis, 26 Januari 2012


Sebaliknya di negara-negara demokratik, perwakilan yang terbentuk dari hasil pemilu memainkan peran memperjuangkan dan menyuarakan aspirasi rakyat agar dipenuhi oleh mereka yang menjalankan pemerintahan. Pemilu di negara-negara demokratis senantiasa terbuka untuk dikembangkan kearah yang memberi makna pada hubungan antar rakyat, perwakilan, dan pemerintahan.
Secara konseptual terdapat 2 (dua) mekanisme yang dapat dilakukan untuk menciptakan pemilu yang bebas dan adil : Pertama, menciptakan seperangkat metode atau aturan untuk mentransfer suara pemilih kedalam suatu lembaga perwakilan rakyat secara adil, yang disebut sebagai sistem pemilihan (electoral system). Kedua, menjalankan pemilu sesuai dengan aturan main dan prinsip-prinsip demokrasi, yang disebut sebagai proses pemilihan.
Pemilu paling tidak memiliki 4 (empat) tujuan, yakni: (1) untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan damai; (2) untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan; (3) untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat; dan (4) untuk melaksanakan prinsip hak asasi warga negara.
Robert A. Dahl memberikan ukuran-ukuran yang harus dipenuhi agar pemilu memenuhi prinsip-prinsip demokrasi: pertama, inclusiveness, artinya orang yang sudah dewasa harus diikutkan dalam pemilu; kedua, equalvote, artinya setiap suara mempunyai hak dan nilai yang sama; ketiga effective participation, setiap orang mempunyai kebebasan untuk mengekspresikan pilihannya; keempat, enlightened understanding, artinya dalam mengekspresikan pilihan politiknya secara akurat setiap orang mempunyai pemahaman dan kemampuan yang kuat untuk memutuskan pilihannya; dan kelima, final control of agenda, artinya pemilu dianggap demokratis apabila terdapat ruang untuk mengontrol atau mengawasi jalannya pemilu.
Sementara itu, IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance) merumuskan sejumlah standar internasional yang bisa menjadi tolok ukur demokratis tidaknya suatu pemilu. Standar internasioal ini merupakan syarat minimal bagi kerangka hukum untuk menjamin pemilu yang demokratis. Adapun sumber utama standar internasional pemilu demokratis itu adalah berbagai deklarasi dan konvensi internasional maupun regional seperti Deklarasi Universal HAM 1948, Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik 1960, konvensi Eropa tahun 1950 untuk Kebebasan HAM dan Kebebasan Asasi, juga Piagam Afrika 1981 tentang Hak Manusia dan Masyarakat.
Berdasarkan dokumen-dokumen tersebut, dirumuskan 15 aspek pemilu demokratis, yaitu: a) penyusunan kerangka hukum; b) pemilihan sistem pemilu; c) penetapan daerah pemilihan; d) hak untuk dipilih dan memilih; e) pendaftaran pemilih dan daftar pemilih; f) akses kertas suara bagi partai politik dan kandidat; g) kampanye pemilu yang demokratis; h) akses ke media dan kebebasan berekspresi; i) pembiayaan dan pengeluaran; j) pemungutan suara; k) penghitungan dan rekapitulasi suara; l) peranan wakil partai dan kandidat; m) pemantauan pemilu; n) kepatuhan terhadap hukum; o) penegakan peraturan pemilu; dan p) lembaga penyelenggara pemilu.
Norma hukum dasar yang mengatur tentang Pemilu DPD adalah UUD 1945, khususnya pasal-pasal hasil amandemen, antara lain Pasal 22C dan 22D. Selanjutnya penjabaran dari norma dasar diatas dituangkan kedalam 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.
Pasal 22C UUD 1945 menyatakan anggota DPD dipilih dari setiap Provinsi dengan jumlah yang sama melalui pemilu, dan jumlah seluruh anggota DPD tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR.
Ketentuan propinsi sebagai basis pemilihan anggota DPD dapat dipertanyakan dasar penentuannya. Seperti diketahui bahwa DPD dimaksudkan secara tegas untuk mewadahi untuk kepentingan wilayah/daerah otonom, seharusnya basis pengisian konsisten dengan ketentuan pembagian daerah negara (kedalam daerah otonom). Dalam ketentuan Pasal 18 UUD 1945, yang dimaksud daerah otonom, bukan hanya provinsi, tetapi juga Kabupaten dan kota.
Kemudian terkait jumlah anggota DPD yang dibatasi secara limitatif sepertiga jumlah anggota DPR. Ketentuan ini tentu saja akan melemahkan posisi DPD dalam setiap pengambilan keputusan dihadpakan dengan DPR ketika keduanya berada dalam satu kamar yang sama, yaitu MPR. MPR bukan beranggotakan DPR dan DPD (joint session) sebagai institusi tetapi beranggotakan perorangan DPD dan DPR, sehingga apabila keputusan diambil melalui pemungutan suara (voting), secara normatif DPR lebih diuntungkan karena jumlahnya tiga kali lebih banyak dari DPD. Salah satu alternatif untuk membangun kesetaraan jumlah anggota DPD dan DPR adalah dengan merubah basis pemilihan anggota DPD dari propinsi ke daerah otonom yang ada (Propinsi, Kabupaten dan kota).
Kontruksi dalam Konstitusi berkaitan dengan jumlah anggota dan basis pemilihan anggota DPD tidak bisa dilepaskan dari tajamnya perbedaan pendapat antar kelompok dalam proses Perubahan UUD 1945. Perbedaan antar kelompok yang menginginkan DPD sebagai lembaga yang mempunyai kedudukan yang seimbang dengan DPR dengan kelompok yang sebaliknya tidak menginginkan DPD sebagai lembaga demikian tajam sehingga memerlukan pembahasan yang panjang. Meskipun rapat-rapat lobi tertutup sering diadakan, akan tetapi Fraksi TNI/Polri dan Fraksi PDIP belum juga setuju dengan gagasan DPD sebagai lembaga. Fraksi TNI/Polri khawatir, adanya dua lembaga DPR dan DPD akan berpengaruh terhadap kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Sementara itu, bagi PDIP pembentukan DPD sebagai lembaga, selain dapat menyaingi DPR juga dikhawatirkan dapat mengarah kepada pembentukan negara fedaral.
Jumlah anggota DPD tidak boleh lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR sebab DPD mewakili wilayah, bukan mewakili penduduk. Jumlah penduduk selalu lebih besar dari jumlah wilayah, sehingga seperti umunya berlaku dalam sistem perwakilan bikameral, jumlah anggota senat selalu lebih kecil jumlahnya dari jumlah anggota DPR. Disamping itu, juga menghindari munculnya dominasi DPD di MPR. Apabila tidak ada ketentuan semacam ini, dikhawatirkan jumlah anggota MPR akan didominasi oleh anggota DPD yang sebagian besar berasal dari provinsi yang jumlah penduduknya lebih kecil jumlah penduduknya sehingga tidak akan dapat mencerminkan kedaulatan rakyat yang sesungguhnya. Disamping itu, dikhawatirkan akan lebih banyak anggota MPR yang berasal dari daerah Luar Jawa dari pada Jawa.
Kesepakatan mengenai jumlah anggota DPD yang seperti ini menjadi salah satu alasan mengapa kemudian Fraksi PDIP dan Fraksi TNI/Polri bersedia menerima pembentukan DPD sebagai sebuah lembaga dengan kewenangan yang terbatas. Fraksi PDIP yang memperoleh dukungan lebih besar di Jawa daripada luar Jawa melihat perimbangan yang semacam ini akan menghasilkan perimbangan kekuasaan yang lebih proporsional di MPR sehingga lembaga DPD tidak akan membahayakan NKRI. 

HALAMAN SELANJUTNYA... 01, 02, 03, 04, 05

Related Post