Sebaliknya di
negara-negara demokratik, perwakilan yang terbentuk dari hasil pemilu memainkan
peran memperjuangkan dan menyuarakan
aspirasi rakyat agar dipenuhi oleh mereka yang menjalankan
pemerintahan. Pemilu di negara-negara demokratis
senantiasa terbuka untuk dikembangkan kearah yang memberi makna pada hubungan antar rakyat, perwakilan, dan
pemerintahan.
Secara konseptual
terdapat 2 (dua) mekanisme yang dapat dilakukan untuk
menciptakan pemilu yang bebas dan adil : Pertama, menciptakan
seperangkat metode atau aturan untuk mentransfer suara
pemilih kedalam suatu lembaga perwakilan rakyat secara adil,
yang disebut sebagai sistem pemilihan (electoral
system). Kedua, menjalankan pemilu sesuai dengan aturan main dan prinsip-prinsip demokrasi,
yang disebut sebagai proses pemilihan.
Pemilu paling tidak
memiliki 4 (empat) tujuan, yakni: (1) untuk memungkinkan
terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan
secara tertib dan damai; (2) untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga
perwakilan; (3) untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat; dan (4) untuk melaksanakan prinsip hak asasi warga negara.
Robert A. Dahl
memberikan ukuran-ukuran yang harus dipenuhi agar pemilu memenuhi
prinsip-prinsip demokrasi: pertama,
inclusiveness, artinya orang yang
sudah dewasa harus diikutkan dalam pemilu; kedua, equalvote, artinya
setiap suara mempunyai hak dan nilai yang sama; ketiga effective participation, setiap orang mempunyai kebebasan untuk
mengekspresikan pilihannya;
keempat, enlightened understanding, artinya dalam mengekspresikan pilihan
politiknya secara akurat setiap orang mempunyai pemahaman
dan kemampuan yang kuat untuk memutuskan
pilihannya; dan kelima, final control of agenda, artinya pemilu dianggap demokratis apabila
terdapat ruang untuk mengontrol
atau mengawasi jalannya pemilu.
Sementara itu,
IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance) merumuskan sejumlah standar internasional yang bisa menjadi tolok ukur demokratis tidaknya
suatu pemilu. Standar
internasioal ini merupakan syarat minimal bagi kerangka hukum untuk menjamin
pemilu yang demokratis. Adapun sumber utama standar
internasional pemilu demokratis itu adalah berbagai deklarasi dan konvensi internasional maupun regional seperti Deklarasi Universal HAM 1948,
Perjanjian Internasional tentang Hak-hak
Sipil dan Politik 1960, konvensi Eropa tahun 1950 untuk Kebebasan HAM dan Kebebasan Asasi, juga Piagam Afrika 1981
tentang Hak Manusia dan Masyarakat.
Berdasarkan
dokumen-dokumen tersebut, dirumuskan 15 aspek pemilu
demokratis, yaitu: a) penyusunan kerangka hukum; b) pemilihan sistem pemilu; c) penetapan daerah pemilihan; d) hak untuk dipilih dan memilih; e) pendaftaran
pemilih dan daftar pemilih; f) akses
kertas suara bagi partai politik dan kandidat; g) kampanye pemilu yang demokratis; h) akses ke media dan kebebasan berekspresi; i) pembiayaan dan
pengeluaran; j) pemungutan suara;
k) penghitungan dan rekapitulasi suara; l) peranan wakil partai dan kandidat;
m) pemantauan pemilu; n) kepatuhan terhadap
hukum; o) penegakan peraturan pemilu; dan p) lembaga
penyelenggara pemilu.
Norma hukum dasar
yang mengatur tentang Pemilu DPD adalah UUD 1945,
khususnya pasal-pasal hasil amandemen, antara lain Pasal 22C dan 22D.
Selanjutnya penjabaran dari norma dasar diatas
dituangkan kedalam 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD dan DPRD.
Pasal 22C UUD 1945
menyatakan anggota DPD dipilih dari setiap Provinsi
dengan jumlah yang sama melalui pemilu, dan jumlah seluruh anggota DPD tidak
lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR.
Ketentuan propinsi
sebagai basis pemilihan anggota DPD dapat
dipertanyakan dasar penentuannya. Seperti diketahui bahwa DPD dimaksudkan secara tegas untuk
mewadahi untuk kepentingan
wilayah/daerah otonom, seharusnya basis pengisian konsisten dengan ketentuan
pembagian daerah negara (kedalam daerah otonom).
Dalam ketentuan Pasal 18 UUD 1945, yang dimaksud daerah otonom, bukan hanya
provinsi, tetapi juga Kabupaten dan
kota.
Kemudian terkait
jumlah anggota DPD yang dibatasi secara limitatif
sepertiga jumlah anggota DPR. Ketentuan ini tentu saja akan melemahkan posisi DPD dalam setiap
pengambilan keputusan dihadpakan dengan DPR ketika
keduanya berada dalam satu kamar
yang sama, yaitu MPR. MPR bukan beranggotakan DPR
dan DPD (joint session) sebagai institusi tetapi beranggotakan perorangan DPD dan DPR, sehingga apabila keputusan diambil melalui pemungutan
suara (voting), secara normatif DPR
lebih diuntungkan karena jumlahnya tiga kali lebih
banyak dari DPD. Salah satu alternatif untuk membangun kesetaraan jumlah anggota DPD dan DPR adalah dengan merubah
basis pemilihan anggota DPD dari propinsi ke daerah otonom yang ada (Propinsi, Kabupaten dan kota).
Kontruksi dalam
Konstitusi berkaitan dengan jumlah anggota dan basis
pemilihan anggota DPD tidak bisa dilepaskan dari tajamnya perbedaan pendapat antar kelompok dalam proses Perubahan UUD 1945. Perbedaan antar
kelompok yang menginginkan DPD sebagai lembaga yang mempunyai kedudukan yang
seimbang dengan DPR dengan kelompok yang sebaliknya tidak menginginkan DPD sebagai lembaga
demikian tajam sehingga
memerlukan pembahasan yang panjang. Meskipun rapat-rapat lobi tertutup sering
diadakan, akan tetapi Fraksi TNI/Polri dan
Fraksi PDIP belum juga setuju dengan gagasan DPD sebagai lembaga. Fraksi
TNI/Polri khawatir, adanya dua lembaga DPR dan DPD akan berpengaruh terhadap
kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
Sementara itu, bagi PDIP pembentukan DPD
sebagai lembaga, selain dapat menyaingi DPR juga
dikhawatirkan dapat mengarah kepada pembentukan negara fedaral.
Jumlah anggota DPD
tidak boleh lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR sebab DPD mewakili wilayah, bukan
mewakili penduduk. Jumlah penduduk selalu lebih besar dari jumlah wilayah, sehingga seperti umunya berlaku
dalam sistem perwakilan bikameral, jumlah anggota
senat selalu lebih kecil jumlahnya dari
jumlah anggota DPR. Disamping itu, juga menghindari
munculnya dominasi DPD di MPR. Apabila tidak ada ketentuan semacam ini, dikhawatirkan jumlah anggota MPR akan didominasi oleh anggota DPD yang
sebagian besar berasal dari
provinsi yang jumlah penduduknya lebih kecil jumlah penduduknya sehingga tidak akan dapat mencerminkan kedaulatan rakyat yang sesungguhnya.
Disamping itu, dikhawatirkan akan
lebih banyak anggota MPR yang berasal dari daerah Luar Jawa dari pada Jawa.
Kesepakatan
mengenai jumlah anggota DPD yang seperti ini menjadi salah satu alasan mengapa
kemudian Fraksi PDIP dan Fraksi
TNI/Polri bersedia menerima pembentukan DPD sebagai sebuah lembaga dengan
kewenangan yang terbatas. Fraksi PDIP yang memperoleh dukungan lebih besar di
Jawa daripada luar Jawa melihat perimbangan
yang semacam ini akan menghasilkan
perimbangan kekuasaan yang lebih proporsional di MPR sehingga lembaga DPD tidak akan membahayakan NKRI.
HALAMAN SELANJUTNYA... 01, 02, 03, 04, 05