Calon perseorangan
anggota DPD yang akan mendaftarkan diri untuk
mengikuti Pemilu harus memenuhi persyaratan yang ditentukan. Pasal 13 UU Nomor 10 Tahun 2008 menentukan bahwa :
1)
untuk dapat
menjadi anggota DPD, peserta pemilu dari perseorangan harus memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan :
a. provinsi dengan penduduk sampai dengan 1.000.000 (satu juta) orang harus didukung
oleh 1.000 (seribu) pemilih
b. provinsi yang berpenduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) sampai dengan 5.000.000 (lima
juta) orang harus didukung sekurang-kurangnya oleh 2.000 9 (dua ribu) pemilih
c. provinsi yang berpenduduk lebih dari
5.000.000 (lima juta) sampai dengan 10.000.000 (sepuluh juta) orang harus didukung oleh sekurang-kurangnya 3.000 (tiga ribu) pemilih
d. Provinsi yang berpenduduk lebih dari
10.000.000 (sepuluh juta)
sampai dengan 15.000.000 (lima belas juta) orang
harus didukung sekurang- kurangnya oleh 4.000 (empat ribu) pemilih; atau
e. Provinsi yang berpenduduk lebih dari
15.000.000 (lima belas juta)
orang harus didukung sekurang-kurangnya oleh
5.000 (lima ribu) pemilih
2)
Dukungan yang
dimaksud pada ayat (1) tersebar di paling sedikit 50%
(lima puluh perseratus) dari jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan
3)
Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) dibuktikan dengan tanda tangan
atau cap jempol dan foto kopi kartu tanda penduduk pendukung.
4)
Seorang pendukung tidak diperbolehkan memberikan dukungan kepada lebih dari satu calon anggota
DPD.
5)
Dukungan yang
diberikan kepada lebih dari satu calon anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dinyatakan batal.
6)
Jadwal waktu
pendaftaran peserta pemilu calon anggota DPD
ditetapkan oleh KPU.
Di samping
ketentuan dukungan calon yang harus dipenuhi oleh calon anggota DPD sebagaimana dipaparkan diatas, maka Calon anggota DPD harus memenuhi syarat
sebagai anggota DPD, baik
persyaratan umum yang juga berlaku bagi anggota DPR dan DPRD.
Adapun persyaratan
khusus terkait calon anggota DPD seperti berdomisili di propinsi yang
bersangkutan sekurang- kurangnya 3 tahun
secara berturut-turut yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon atau pernah berdomisili 10 tahun sejak
berusia 17 tahun, tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 tahun yang dihitung sampai sampai dengan
tanggal pengajuan, dan khusus calon dari Pegawai Negeri
Sipil (PNS), Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau Kepolisian Republik Indonesia (Polri) ditambah keharusan
mengundurkan diri sebagai PNS, TNI atau Polri.
Sementara dalam UU
No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu anggota DPR, DPD
dan DPRD menyebutkan bahwa persyaratan domisili dan
kepengurusan partai politik tidak berlaku lagi. Artinya kedua ketentuan itu dihilangkan sebagai persyaratan bagi calon
anggota DPD. Dengan dihapuskannya ketentuan tersebut, maka siapapun warga negara dan dimanapun dia
berada boleh mencalonkan diri menjadi calon anggota
DPD untuk daerah pemilihan manapun di Indonesia asalkan memenuhi syarat- syarat yang ditentukan.
Dihapuskannya
persyaratan domisili dan kepengurusan partai politik untuk menjadi calon
anggota DPD hasil Pemilu 2004 sebagai upaya
DPR untuk membebaskan anggota DPR untuk mendominasi keanggotaan DPD. Kalau dominasi partai politik terjadi dalam DPD, maka sistem checks and
balances antara DPR dan DPD tidak
akan berjalan sama sekali. Semangat untuk membangun DPD sebagai refresentasi
kepentingan daerah tidak akan terwujud
apabila DPD dikuasi partai politik. Oleh karena itu DPD sebagai institusi
maupun perorangan dengan didukung oleh berbagai LSM dan akademisi mengajukan
judicial review ke Mahkamah
Konstitusi.
Problematika
Kelembagaan DPD
Dewan Perwakilan
Daerah sebagai Lembaga Negara oleh UUD 1945 digariskan memiliki kewenangan
sebagai berikut: (1) Dapat mengajukan Ke DPR RUU yang terkait dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran
serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya dan perimbangan
keuangan pusat dan daerah (Pasal 22D ayat 1); (2) Ikut membahas RUU yang terkait dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya dan perimbangan keuangan pusat dan daerah
(Pasal 22D ayat 2); (3) Memberi pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU yang terkait dengan pajak, pendidikan dan agama (Pasal 22 ayat 2);
(4) Melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU yang terkait otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya dan perimbangan keuangan pusat
dan daerah serta menyampaikan hasil pengawasan kepada DPR; (5) Menerima hasil
pemeriksaan keuangan dari BPK (Pasal 23E ayat 2); (6)
Memberikan pertimbangan kepada DPR mengenai pemilihan anggota BPK (Pasal 23F ayat 1)
Desain Kewenangan
DPD yang tercantum dalam UUD 1945 Pasca Amandemen
sebagaimana disebutkan diatas menimbulkan kritik dari berbagai kalangan.
Kritik yang
pertama terkait dengan kewenangan yang dimiliki oleh DPD. Kewenangan DPD tidak cukup signifikan dilihat dari gagasan
pembentukannya dan DPD memang didesain lebih rendah dari DPR bahkan dikatakan sebagai embel-embel DPR.
HALAMAN SELANJUTNYA... 01, 02, 03, 04, 05