Kritik kedua,
yang bisa dikemukakan adalah terkait dengan rumusan
dalam Pasal 7C UUD 1945 hanya memberi jaminan bahwa hanya DPR yang tidak bisa
dibubarkan oleh Presiden sehingga
DPD bisa dikatakan Presiden berhak untuk membubarkannya,
karena tidak ada jaminan yang tegas dan eksplisit dalam
UUD; dan ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa hanya pertimbangan DPR yang diperlukan oleh Presiden ketika
menyatakan perang, damai dan dalam membuat
perjanjian internasional. Dan penulis kira ada banyak pasal-pasal lain dalam UUD 1945 dan perubahannya yang
bersifat diskriminatif terhadap keberadaan DPD.
Untuk mengatasi
timpangnya fungsi dan wewenang DPD berhadapan DPR,
maka kedepan perlu dibangun kedudukan yang setara antara DPR dan DPD sehingga
MPR benar-benar menjadi lembaga
perwakilan dengan sistem dua kamar murni/ bikameral simetris
(strong bicameralism).
Salah satu
keuntungan dalam sistem legislatif bikameral adalah kemampuan anggota untuk : (1) secara resmi mewakili beragam pemilih (misalnya negara bagian,
wilayah, etnik, atau golongan);
(2) memfasilitasi pendekatan yang bersifat musyawarah terhadap penyusunan
perundang-undangan; (3) mencegah disahkannya perundang-undangan yang cacat atau
ceroboh; dan (4) melakukan pengawasan
atau pengendalian yang lebih baik atas lembaga eksekutif.
Menurut Soewoto
Mulyosudarmo, idealnya dengan dianutnya sistem
bikameral dan hadirnya DPD harus mampu menghilangkan kecemburuan daerah
terhadap pusat, dengan cara memperlakukan DPD dalam posisi kesejajaran dengan
DPR. lebih lanjut Soewoto menjelaskan bahwa dalam proses pembuatan undang-undang kedua majelis ini -DPR
dan DPD- harus dilibatkan walaupun dalam fungsi yang berbeda. Artinya suatu rancangan undang-undang yang diusulkan
dan dibahas di DPR, DPD harus diberikan kewenangan
untuk memberikan persetujuan atau penolakan.
Pendapat yang
senada juga diungkapkan oleh Bagir Manan. Menurut
Bagir Manan, sepanjang suatu undang- undang mengenai
rakyat banyak tentu berkaitan dengan daerah. Undang-undang tentang APBN sekalipun berkaitan dengan kepentingan daerah.
Sehingga tidak ada alasan untuk tidak mengikutsertaskan
DPD dalam merancang dan ikut membahas segala materi muatan undang-undang. 18
Salah satu cara
yang bisa ditempuh untuk membangun kesetaraan DPD dan DPR
dalam bingkai bikameralsimetris adalah dengan melakukan
perubahan lanjutan terhadap UUD 1945, karena UUD 1945 pasca amandemen terdapat
sisi kelemahan yang cukup
mendasar. Dari substansi, hasil amandemen belum menyentuh beberapa persoalan
ketatanegaraan yang mendasar sehingga belum
membawa kearah perubahan fundamental bahkan beberapa
ketentuan dalam UUD 1945 pasca amandemen berpotensi
menimbulkan ketegangan antar lembaga negara.
Komisi Konstitusi
(KK) yang diprakarsai oleh MPR dan dipimpin oleh Sri Soemantri M. sebetulnya
telah melakukan kajian sekaligus
usulan alternatif terhadap berbagai ketentuan yang dianggap bermasalah dalam UUD 1945 hasil perubahan pertama, kedua, ketiga dan keempat.
Terkait dengan fungsi dan wewenang DPD,
KK mengusulkan perubahan terhadap Pasal 22D
ayat (2) menjadi berbunyi "Dewan
Perwakilan Daerah dapat Menyetujui atau menolak rancangan undang-undang yang berkaitan dengan;
hubungan pusat dan daerah;
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya,
serta perimbangan keuangan pusat dan daerah yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat; serta memberikan
pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan
dan agama"
Selanjutnya KK
mengusulkan penambahan satu ayat lagi dalam Pasal
22D menjadi ayat (3) yang menyatakan "Jika Dewan Perwakilan Daerah menolak
rancangan undang-undang yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Daerah,
rancangan undang-undang itu tidak dapat diajukan
lagi pada masa pada masa sidang Dewan
Perwakilan Rakyat berikutnya"
Berbagai hasil
kajian dan usulan perubahan terhadap pasal- pasal dalam UUD
1945 pasca perubahan yang dilakukan KK tidak pernah
disentuh apalagi dibahas secara mendalam oleh MPR, karena MPR berpendapat KK
telah melaksanakan tugas dengan melampaui
tugas yang diberikan. Dalam hal ini BP menyatakan demikian "..BP MPR
berpendapat bahwa hasil kerja KK tersebut tidak sepenuhnya sesuai dengan
penugasan yang diberikan oleh MPR
sebagimana tercantum dalam keputusan MPR Nomor 4/ MPR/2003 karena telah keluar dari koridor tugas
dan pengertian "Pengkajian"
yang diamanatkan kepadanya. Hasil kerja KK tersebut kurang mencerminkan prinsip-prinsip sebuah kajian ilmiah
akademis."
Penolakan hasil
kerja KK oleh MPR merupakan suatu bukti bahwa didalam
tubuh MPR masih bercokolnya kepentingan kelompok-kelompok
dominan yang lebih mementingkan kepentingan-kepentingan
jangka pendek dan membenarkan kesimpulan yang dikemukakan oleh Koalisi untuk
konstitusi baru bahwa MPR merupakan bagian yang harus diselesaikan dalam proses amandemen UUD 1945.
HALAMAN SELANJUTNYA... 01, 02, 03, 04, 05