Sahabat Intrans Publishing,


Karya Kelompok Intrans Publishing
Setara
Intrans
Madani
Beranda
Empat Dua
Selaksa

Kamis, 26 Januari 2012


Kritik kedua, yang bisa dikemukakan adalah terkait dengan rumusan dalam Pasal 7C UUD 1945 hanya memberi jaminan bahwa hanya DPR yang tidak bisa dibubarkan oleh Presiden sehingga DPD bisa dikatakan Presiden berhak untuk membubarkannya, karena tidak ada jaminan yang tegas dan eksplisit dalam UUD; dan ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa hanya pertimbangan DPR yang diperlukan oleh Presiden ketika menyatakan perang, damai dan dalam membuat perjanjian internasional. Dan penulis kira ada banyak pasal-pasal lain dalam UUD 1945 dan perubahannya yang bersifat diskriminatif terhadap keberadaan DPD.
Untuk mengatasi timpangnya fungsi dan wewenang DPD berhadapan DPR, maka kedepan perlu dibangun kedudukan yang setara antara DPR dan DPD sehingga MPR benar-benar menjadi lembaga perwakilan dengan sistem dua kamar murni/ bikameral simetris (strong bicameralism).
Salah satu keuntungan dalam sistem legislatif bikameral adalah kemampuan anggota untuk : (1) secara resmi mewakili beragam pemilih (misalnya negara bagian, wilayah, etnik, atau golongan); (2) memfasilitasi pendekatan yang bersifat musyawarah terhadap penyusunan perundang-undangan; (3) mencegah disahkannya perundang-undangan yang cacat atau ceroboh; dan (4) melakukan pengawasan atau pengendalian yang lebih baik atas lembaga eksekutif.
Menurut Soewoto Mulyosudarmo, idealnya dengan dianutnya sistem bikameral dan hadirnya DPD harus mampu menghilangkan kecemburuan daerah terhadap pusat, dengan cara memperlakukan DPD dalam posisi kesejajaran dengan DPR. lebih lanjut Soewoto menjelaskan bahwa dalam proses pembuatan undang-undang kedua majelis ini -DPR dan DPD- harus dilibatkan walaupun dalam fungsi yang berbeda. Artinya suatu rancangan undang-undang yang diusulkan dan dibahas di DPR, DPD harus diberikan kewenangan untuk memberikan persetujuan atau penolakan.
Pendapat yang senada juga diungkapkan oleh Bagir Manan. Menurut Bagir Manan, sepanjang suatu undang- undang mengenai rakyat banyak tentu berkaitan dengan daerah. Undang-undang tentang APBN sekalipun berkaitan dengan kepentingan daerah. Sehingga tidak ada alasan untuk tidak mengikutsertaskan DPD dalam merancang dan ikut membahas segala materi muatan undang-undang. 18
Salah satu cara yang bisa ditempuh untuk membangun kesetaraan DPD dan DPR dalam bingkai bikameralsimetris adalah dengan melakukan perubahan lanjutan terhadap UUD 1945, karena UUD 1945 pasca amandemen terdapat sisi kelemahan yang cukup mendasar. Dari substansi, hasil amandemen belum menyentuh beberapa persoalan ketatanegaraan yang mendasar sehingga belum membawa kearah perubahan fundamental bahkan beberapa ketentuan dalam UUD 1945 pasca amandemen berpotensi menimbulkan ketegangan antar lembaga negara.
Komisi Konstitusi (KK) yang diprakarsai oleh MPR dan dipimpin oleh Sri Soemantri M. sebetulnya telah melakukan kajian sekaligus usulan alternatif terhadap berbagai ketentuan yang dianggap bermasalah dalam UUD 1945 hasil perubahan pertama, kedua, ketiga dan keempat.
Terkait dengan fungsi dan wewenang DPD, KK mengusulkan perubahan terhadap Pasal 22D ayat (2) menjadi berbunyi "Dewan Perwakilan Daerah dapat Menyetujui atau menolak rancangan undang-undang yang berkaitan dengan; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama"
Selanjutnya KK mengusulkan penambahan satu ayat lagi dalam Pasal 22D menjadi ayat (3) yang menyatakan "Jika Dewan Perwakilan Daerah menolak rancangan undang-undang yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Daerah, rancangan undang-undang itu tidak dapat diajukan lagi pada masa pada masa sidang Dewan Perwakilan Rakyat berikutnya"  
Berbagai hasil kajian dan usulan perubahan terhadap pasal- pasal dalam UUD 1945 pasca perubahan yang dilakukan KK tidak pernah disentuh apalagi dibahas secara mendalam oleh MPR, karena MPR berpendapat KK telah melaksanakan tugas dengan melampaui tugas yang diberikan. Dalam hal ini BP menyatakan demikian "..BP MPR berpendapat bahwa hasil kerja KK tersebut tidak sepenuhnya sesuai dengan penugasan yang diberikan oleh MPR sebagimana tercantum dalam keputusan MPR Nomor 4/ MPR/2003 karena telah keluar dari koridor tugas dan pengertian "Pengkajian" yang diamanatkan kepadanya. Hasil kerja KK tersebut kurang mencerminkan prinsip-prinsip sebuah kajian ilmiah akademis."
Penolakan hasil kerja KK oleh MPR merupakan suatu bukti bahwa didalam tubuh MPR masih bercokolnya kepentingan kelompok-kelompok dominan yang lebih mementingkan kepentingan-kepentingan jangka pendek dan membenarkan kesimpulan yang dikemukakan oleh Koalisi untuk konstitusi baru bahwa MPR merupakan bagian yang harus diselesaikan dalam proses amandemen UUD 1945.

HALAMAN SELANJUTNYA... 01, 02, 03, 04, 05

Related Post