D.
Reformulasi Kebijakan dalam Penanggulangan Praktik Korupsi Pemilu
Dalam menilai
integritas hasil pemilu, politik uang, dan pendanaan politik sebagai bentuk korupsi pemilu,
seharusnya menjadi perhatian serius,
sama dengan perhatian yang diberikan pada
penilaian mekanisme tahapan pemilu oleh KPU. Mengacu pada standar Ethical and Professionals
Administration of Elections yang dikeluarkan Institute for Democracy
and Electoral Assistance (IDEA), pasal politik uang dan manipulasi pendanaan politik seharusnya menjadi
penjabaran dari asas setara
(fairness) yang merupakan dasar dalam menilai legitimasi sebuah pemilu.
Hal ini penting karena partai politik yang menjadi peserta pemilu tidak
berangkat dari titik awal yang sama. Partai lama akan cenderung mendominasi pengaruh di dalam pemilu
karena memiliki pundi uang lebih gemuk dibandingkan dengan partai-partai baru.
Memang,
hubungan antara uang dan politik menjadi salah
satu masalah serius bagi pemerintahan demokratis. Penyelenggaraan pemilihan umum yang bebas,
sebagai salah satu instrumen
demokrasi yang paling penting, selalu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Ini dirasakan
terutama oleh negara- negara
yang tengah mengalami proses transisi menuju demokrasi, dimana banyak hal berubah, seperti
meningkatnya jumlah peserta
pemilu. Di luar anggaran yang disediakan oleh negara untuk penyelenggaraan
pemilu, persaingan yang semakin ketat memaksa
partai-partai untuk membelanjakan lebih banyak uang guna meraih dukungan
pemilih.
Sementara
perilaku pemilih tidak lagi seperti pada zaman Orde Baru, dimana masyarakat disuguhi praktik demokrasi
semu dan cenderung dipaksa dalam
keseragaman perilaku memilih. Pada era pasca reformasi ini, masyarakat pemilih
justru secara tidak
langsung mampu mengendalikan dan memanfaatkan (secara negatif) partai politik dan para calon
legislatif, yang memaksa
para pemain politik untuk lebih kreatif dalam menarik simpati pemilih. Dan
dalam kenyataannya banyak partai politik dan calon legislatif yang harus
melakukan praktik membeli suara pemilih (money politics) untuk mendapat
dukungan pemilih. Hal ini
semakin diperparah dengan perilaku sebagian besar pemilih yang tidak hanya terikat pada akat jual-beli
suara tersebut, melainkan
sudah melihat pada siapa dan parpol mana yang bisa membeli lebih mahal, itulah yang akan
didukung. Perilaku pemilih
yang sudah permisif terhadap praktik korupsi pemilu ini harus menjadi perhatian yang serius dalam
pengaturan sistem politik
dan penyelenggaraan Pemilu yang akan datang.
Jika masalah dana politik
ini tidak diatur sedemikian rupa, maka
upaya konsolidasi demokrasi akan sulit diwujudkan. Tanpa fairness, kompetisi yang
terbangun akan lebih bersifat prosedural dan lemah dalam hal substansi. Pemilu
hanya akan menjadi bagian dari sebuah
rutinitas pergantian kekuasaan, atau bahkah
tidak salah jika disebut bahwa Pemilu hanya sekedar upacara pemilihan calon
Koruptor. Kecurangan-kecurangan yang
terjadi akan menimbulkan sinisme publik terhadap proses politik, yang akan menjadi ancaman bagi masa
depan demokrasi itu sendiri.
Berdasarkan pemikiran di
atas, diperlukan pengaturan yang
memaksa semua aktor politik bersikap transparan dan akuntabel dalam hal dana
politik, terutama yang digunakan untuk kegiatan kampanye pemilu. Setidaknya ada
dua alasan mengapa pendanaan politik,
khususnya dana kampanye harus diatur
sedemikian rupa. Pertama, pengaturan ini ditujukan untuk mewujudkan persaingan yang setara (equal
opportunity) di
antara peserta pemilu. Perebutan kekuasaan dalam demokrasi bukanlah sebuah ruang persaingan yang bebas
secara mutlak, yang mengabaikan prinsip kesetaraan. Kedua, pengaturan
dana politik ini ditujukan untuk
menciptakan sebuah sistem yang jujur,
dimana partai ataupun kandidat dapat berpartisipasi dan berperilaku secara
transparan dan akuntabel terhadap masyarakat.
Pengaturan
ini juga menuntut partai dan kandidat untuk transparan dalam soal pengumpulan
dan pembelanjaan uang mereka.
Buruknya pengaturan dana kampanye membawa konsekuensi
meningkatnya resiko terbentuknya pemerintah yang korup pasca pemilu. Dana kampanye partai dan kandidat
diperoleh dari sumbangan
pihak internal dan eksternal, baik besar
maupun kecil. Para penyumbang ini tentu saja memiliki alasan tertentu saat mereka menyumbangkan uang
mereka untuk kampanye partai atau
kandidat tertentu, tak terkecuali harapan untuk mendapatkan keuntungan material
dari partai atau kandidat yang
didukungnya, antara lain melalui pemberian pekerjaan yang bersumber dari anggaran negara, penunjukan
dalam pengisian jabatan potensial, dan sebagainya. Dengan demikian, pengaturan ini diperlukan untuk
mencegah korupsi (investive corruption) dengan membatasi partai atau
kandidat dari kooptasi donatur/penyumbang.
Merujuk
pada berbagai persoalan yang pernah atau potensial
akan terjadi pada Pemilu 2009, ada beberapa hal yang perlu diakomodir dalam pengaturan dana
kampanye yang akan
datang:
1. Pengaturan sumber dana kampanye harus
mencakup sumber ekternal
dan internal, baik dari segi jumlah maupun pencatatannya. Ini untuk mencegah
kooptasi partai oleh kelompok-kelompok yang kuat
secara finansial. Aturan ini diharapkan dapat menggugah kepedulian publik terhadap persoalan oligarki partai, yang selama ini turut menghambat konsolidasi demokrasi.
2. Perlu disiapkan ketentuan standar pencatatan
dan pelaporan dana kampanye yang harus
dilengkapi pencatatan sederhana untuk kandidat.
Penyelenggara pemilu harus mensosialisasikan standar ini ke semua parpol dan kandidat. Standar
pencatatan harus juga ikut mereļ¬eksikan praktek keuangan parpol,
termasuk memudahkan implementasinya. Penerapan standar ini dalam pilkada
langsung mulai 2010 atau bahkan pada
Pilpres 2009, dapat menjadi uji coba sekaligus
media sosialisasi yang berguna bagi para pengurus partai politik.
3.
Pencatatan
harus menyertakan NPWP perorangan maupun badan hukum yang memberikan sumbangan. Ini akan memperkecil masuknya sumbangan
yang melewati batas maksimal melalui penggunaan
identitas yang tidak jelas.
4.
Membangun
sinergi dalam mengontrol dana kampanye yangmelibatkan peran partai dalam
mengatur urusan internalnya, lembaga yang mengatur dana politik, organisasi
masyarakat sipil, media, kandidat, dan pemilih. Faktor
kunci dari sinergi ini kesadaran mengenai
pentingnya pengaturan dana kampanye bagi pemilu yang benar-benar fair,
yang memungkinkan demokrasi tidak hanya
sebatas sebuah prosedur teknis. Salah satu hambatan terbesar bagi
berjalannya mekanisme yang efektif adalah masih kuatnya patronase politik. Di
tengah masyarakat yang seperti ini berbagai
aktivitas yang melanggar aturan dana kampanye dianggap wajar, sehingga hal tersebut akan terus
berlangsung.
5.
Hasil
audit dana kampanye seharusnya dapat ditindaklanjuti, karena sumbangan dana kampanye bukan hanya
dapat melanggar aturan pemilu semata,
tetapi juga dapat terkait dengan tindakan- tindakan korupsi. Jika terdapat
bukti-bukti yang cukup, lembaga penegak
hukum harus menindaklanjutinya. Bahkan, pelanggaran hukum yang serius seharusnya dapat membawa
konsekuensi terhadap hasil yang
diperoleh kandidat atau partai politik.
HALAMAN SELANJUTNYA.... 01, 02, 03, 04, 05, 06, 07, 08