Sahabat Intrans Publishing,


Karya Kelompok Intrans Publishing
Setara
Intrans
Madani
Beranda
Empat Dua
Selaksa

Senin, 30 Januari 2012

HALAMAN 07


D. Reformulasi Kebijakan dalam Penanggulangan Praktik Korupsi Pemilu
Dalam menilai integritas hasil pemilu, politik uang, dan pendanaan politik sebagai bentuk korupsi pemilu, seharusnya menjadi perhatian serius, sama dengan perhatian yang diberikan pada penilaian mekanisme tahapan pemilu oleh KPU. Mengacu pada standar Ethical and Professionals Administration of Elections yang dikeluarkan Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), pasal politik uang dan manipulasi pendanaan politik seharusnya menjadi penjabaran dari asas setara (fairness) yang merupakan dasar dalam menilai legitimasi sebuah pemilu. Hal ini penting karena partai politik yang menjadi peserta pemilu tidak berangkat dari titik awal yang sama. Partai lama akan cenderung mendominasi pengaruh di dalam pemilu karena memiliki pundi uang lebih gemuk dibandingkan dengan partai-partai baru.
Memang, hubungan antara uang dan politik menjadi salah satu masalah serius bagi pemerintahan demokratis. Penyelenggaraan pemilihan umum yang bebas, sebagai salah satu instrumen demokrasi yang paling penting, selalu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Ini dirasakan terutama oleh negara- negara yang tengah mengalami proses transisi menuju demokrasi, dimana banyak hal berubah, seperti meningkatnya jumlah peserta pemilu. Di luar anggaran yang disediakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemilu, persaingan yang semakin ketat memaksa partai-partai untuk membelanjakan lebih banyak uang guna meraih dukungan pemilih.
Sementara perilaku pemilih tidak lagi seperti pada zaman Orde Baru, dimana masyarakat disuguhi praktik demokrasi semu dan cenderung dipaksa dalam keseragaman perilaku memilih. Pada era pasca reformasi ini, masyarakat pemilih justru secara tidak langsung mampu mengendalikan dan memanfaatkan (secara negatif) partai politik dan para calon legislatif, yang memaksa para pemain politik untuk lebih kreatif dalam menarik simpati pemilih. Dan dalam kenyataannya banyak partai politik dan calon legislatif yang harus melakukan praktik membeli suara pemilih (money politics) untuk mendapat dukungan pemilih. Hal ini semakin diperparah dengan perilaku sebagian besar pemilih yang tidak hanya terikat pada akat jual-beli suara tersebut, melainkan sudah melihat pada siapa dan parpol mana yang bisa membeli lebih mahal, itulah yang akan didukung. Perilaku pemilih yang sudah permisif terhadap praktik korupsi pemilu ini harus menjadi perhatian yang serius dalam pengaturan sistem politik dan penyelenggaraan Pemilu yang akan datang.
Jika masalah dana politik ini tidak diatur sedemikian rupa, maka upaya konsolidasi demokrasi akan sulit diwujudkan. Tanpa fairness, kompetisi yang terbangun akan lebih bersifat prosedural dan lemah dalam hal substansi. Pemilu hanya akan menjadi bagian dari sebuah rutinitas pergantian kekuasaan, atau bahkah tidak salah jika disebut bahwa Pemilu hanya sekedar upacara pemilihan calon Koruptor. Kecurangan-kecurangan yang terjadi akan menimbulkan sinisme publik terhadap proses politik, yang akan menjadi ancaman bagi masa depan demokrasi itu sendiri.
Berdasarkan pemikiran di atas, diperlukan pengaturan yang memaksa semua aktor politik bersikap transparan dan akuntabel dalam hal dana politik, terutama yang digunakan untuk kegiatan kampanye pemilu. Setidaknya ada dua alasan mengapa pendanaan politik, khususnya dana kampanye harus diatur sedemikian rupa. Pertama, pengaturan ini ditujukan untuk mewujudkan persaingan yang setara (equal opportunity) di antara peserta pemilu. Perebutan kekuasaan dalam demokrasi bukanlah sebuah ruang persaingan yang bebas secara mutlak, yang mengabaikan prinsip kesetaraan. Kedua, pengaturan dana politik ini ditujukan untuk menciptakan sebuah sistem yang jujur, dimana partai ataupun kandidat dapat berpartisipasi dan berperilaku secara transparan dan akuntabel terhadap masyarakat.
Pengaturan ini juga menuntut partai dan kandidat untuk transparan dalam soal pengumpulan dan pembelanjaan uang mereka. Buruknya pengaturan dana kampanye membawa konsekuensi meningkatnya resiko terbentuknya pemerintah yang korup pasca pemilu. Dana kampanye partai dan kandidat diperoleh dari sumbangan pihak internal dan eksternal, baik besar maupun kecil. Para penyumbang ini tentu saja memiliki alasan tertentu saat mereka menyumbangkan uang mereka untuk kampanye partai atau kandidat tertentu, tak terkecuali harapan untuk mendapatkan keuntungan material dari partai atau kandidat yang didukungnya, antara lain melalui pemberian pekerjaan yang bersumber dari anggaran negara, penunjukan dalam pengisian jabatan potensial, dan sebagainya. Dengan demikian, pengaturan ini diperlukan untuk mencegah korupsi (investive corruption) dengan membatasi partai atau kandidat dari kooptasi donatur/penyumbang.
Merujuk pada berbagai persoalan yang pernah atau potensial akan terjadi pada Pemilu 2009, ada beberapa hal yang perlu diakomodir dalam pengaturan dana kampanye yang akan
datang:

1.   Pengaturan sumber dana kampanye harus mencakup sumber ekternal dan internal, baik dari segi jumlah maupun pencatatannya. Ini untuk mencegah kooptasi partai oleh kelompok-kelompok yang kuat secara finansial. Aturan ini diharapkan dapat menggugah kepedulian publik terhadap persoalan oligarki partai, yang selama ini turut menghambat konsolidasi demokrasi.
2.   Perlu disiapkan ketentuan standar pencatatan dan pelaporan dana kampanye yang harus dilengkapi pencatatan sederhana untuk kandidat. Penyelenggara pemilu harus mensosialisasikan standar ini ke semua parpol dan kandidat. Standar pencatatan harus juga ikut mereļ¬‚eksikan praktek keuangan parpol, termasuk memudahkan implementasinya. Penerapan standar ini dalam pilkada langsung mulai 2010 atau bahkan pada Pilpres 2009, dapat menjadi uji coba sekaligus media sosialisasi yang berguna bagi para pengurus partai politik.
3.   Pencatatan harus menyertakan NPWP perorangan maupun badan hukum yang memberikan sumbangan. Ini akan memperkecil masuknya sumbangan yang melewati batas maksimal melalui penggunaan identitas yang tidak jelas.
4.   Membangun sinergi dalam mengontrol dana kampanye yangmelibatkan peran partai dalam mengatur urusan internalnya, lembaga yang mengatur dana politik, organisasi masyarakat sipil, media, kandidat, dan pemilih. Faktor kunci dari sinergi ini kesadaran mengenai pentingnya pengaturan dana kampanye bagi pemilu yang benar-benar fair, yang memungkinkan demokrasi tidak hanya sebatas sebuah prosedur teknis. Salah satu hambatan terbesar bagi berjalannya mekanisme yang efektif adalah masih kuatnya patronase politik. Di tengah masyarakat yang seperti ini berbagai aktivitas yang melanggar aturan dana kampanye dianggap wajar, sehingga hal tersebut akan terus berlangsung.
5.   Hasil audit dana kampanye seharusnya dapat ditindaklanjuti, karena sumbangan dana kampanye bukan hanya dapat melanggar aturan pemilu semata, tetapi juga dapat terkait dengan tindakan- tindakan korupsi. Jika terdapat bukti-bukti yang cukup, lembaga penegak hukum harus menindaklanjutinya. Bahkan, pelanggaran hukum yang serius seharusnya dapat membawa konsekuensi terhadap hasil yang diperoleh kandidat atau partai politik.

HALAMAN SELANJUTNYA.... 01, 02, 03, 04, 05, 06, 07, 08

Related Post