C. Perilaku Koruptif dan Akar-akar Kriminogen Praktik Korupsi Pemilu dalam Ketentuan Dana
Kampanye Faktor-faktor Pemicu Korupsi Pemilu
Putusan
MK pada 23 Desember 2009, yang merupakan putusan yang bersifat final dan
mengikat, telah menyatakan dalam
diktum putusannya bahwa penentuan calon yang ditetapkan sebagai calon terpilih pada Pemilu Legislatif
tahun 2009 adalah berdasar pada perolehan suara terbanyak masing- masing calon. Sehingga siapa yang akan
ditetapkan menjadi calon
anggota legislatif periode 2009-2014 adalah mereka yang memperoleh suara
terbanyak.
Dengan demikian, maka
pemilu legislatif 2009 menunjukkan ketidakkonsistenan
yang serius. Dimana, pengaturan pemilu legislatif
yang awalnya berbasis parpol (dimana dana kampanye dikelola, dicatat, dan dilaporkan oleh partai
politik), ternyata tidak bisa mengakomodir dan menjadi alat kontrol bagi pelaku
kampanye yang sudah berbasis calon legislatif.
Dengan demikian, Putusan MK yang mengabulkan
permohonan uji materil penentuan
calon terpilih berdasarkan suara terbanyak untuk suara terbanyak dalam UU No. 10 Tahun 2008 tersebut, telah menimbulkan kerumitan dalam hal pencatatan dan
pelaporan dana kampanye.
Terbukanya
kesempatan untuk menjadi calon terpilih tanpa harus memperhitungkan lagi nomor
urut pencalonan, para calon akan
memaksimalkan kampanye mereka. Selain partai politik, yang memang memiliki organ khusus pemenangan
pemilu, para calon juga ikut membentuk
tim dan dana kampanye sendiri. Inilah
yang menjadi titik tolak munculnya perilaku koruptif dari masing-masing Parpol dan Caleg, dengan cara
memanfaatkan kelemahan aturan dalam UU
yang tidak dapat menjangkau calon anggota
legislatif. Hal ini juga didasarkan pada pengalaman Pilpres dan Pilkada yang berbasis kandidat,
parpol hanya menjadi kendaraan politik
para calon dan cenderung pasif dalam pengelolaan kampanye.
Pengelolaan dana kampanye lebih terfokus di
kandidat, akan tetapi tidak dapat diproses secara hukum karena penanggungjawab
dana kampanye ada di partai politik. Sementara pencatatan dana kampanye di tingkatan partai politik tidak akan mendeskripsikan
dana kampanye yang sebenarnya dimiliki atau digunakan oleh Caleg. Sehingga dana kampanye yang ada pada masing-masing
Caleg tidak dapat terkontrol.
Partai politik banyak yang
menyiasati dengan membiarkan caleg-calegnya untuk mengumpulkan dana kampanye
sebanyak mungkin dan tidak mengawasi penggunaannya, asalkan untuk memenangkan pemilu. Sementara para caleg
menilai, bahwa dengan
suara terbanyaklah yang bisa menjadikan dirinya terpilih menjadi anggota legislatif. Maka terjadilah
persaingan yang tidak
sehat di internal partai politik itu sendiri, yang secara tidak langsung memaksa para caleg untuk
mempraktikkan cara-cara ilegal
demi kemenangan dirinya.
Maka kemudian muncul
tindakan-tindakan yang merupakan bentuk
korupsi pemilu, seperti money politics, penyalahgunaan wewenang,
penyelahgunaan fasilitas jabatan, manipulasi dana kampanye, dan praktik koruptif lainnya.
Bahkan beberapa kasus korupsi
tersebut dilakukan oleh beberapa anggota legislatif periode 2004-2009.
Putusan
MK juga telah membawa pengaruh terhadap aspek
yuridis UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif, khususnya pada pengaturan dana kampanye.
Sebagaimana diketahui, bingkai regulasi
dana kampanye dalam UU Pemilu Legislatif menempatkan partai politik sebagai
peserta pemilu. Sementara
itu, calon legislator merupakan bagian dari partai politik. Secara faktual
calon legislator adalah peserta pemilu bersama-sama partai politik
dan calon anggota DPD. Masalahnya, yang
tidak diantisipasi adalah tidak adanya kewajiban sama sekali pelaporan dana kampanye bagi calon
legislator.
Kombinasi antara
pertarungan yang kian tinggi antar calon legislator
dan ketiadaan kewajiban pertanggungjawaban dana kampanye bagi calon legislator membuka peluang lebar bagi
penyalahgunaan dana
kampanye. Jika praktek pemberian uang atau materi lainnya dalam pemilu dilihat
sebagai pengeluaran dana
kampanye, politik uang adalah pelanggaran terhadap aturan dana kampanye.
Kekosongan hukum dalam konteks aturan dana kampanye calon legislator inilah yang meningkatkan
praktek politik uang dalam pemilu
legislatif 2009.
Pada
konteks ini, Emile Durkheim menilai bahwa terjadinya kejahatan karena adanya kondisi
normlessness (kekosongan norma)
yang merupakan akibat dari struktur sosial yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Menurut
Durkheim, penjelasan tentang perbuatan salah manusia tidak terletak pada diri
individu, tetapi terletak pada
kelompok dan organisasi sosial, di mana dalam
konteks ini terjadi kondisi yang anomie atau hancurnya keteraturan sosial sebagai akibat dari
hilangnya patokan-patokan nilai-nilai.
Meski berlatar pemikiran
yang berbeda dengan Durkheim, Robert
Merton memandang ada sebab lain kenapa terjadi anomie, yang menurutnya, "Anomie does not result
simply from the unregulated goals that Durkheim discussed, then, but rather from a faulty relationship between goals and
the legitimate menas of access to them.
The problems is a combination of shared success
goals and the limited menas for their attainment".
Kasus
dugaan suap yang diterima anggota Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat, Abdul Hadi Djamal, hal ini menurut Arbi Sanit
dilakukan walau partai sudah teken pakta antikorupsi, dia terpaksa melakukan
karena kebutuhan
untuk menang.
Sistem suara terbanyak
adalah mekanisme baru dalam Pemilihan
Umum di Indonesia. Sistem ini mengatur mekanisme untuk meraih kursi di
Parlemen, dimana hanya calon yang meraih suara
paling banyak dialah yang berhak duduk sebagai anggota legislatif. Tingginya biaya yang diperlukan
untuk kampanye dinilai
ikut menjadi akar-akar kriminogen atas terjadinya korupsi pemilu dengan
melipatgandakan kebutuhan dana kampanye bagi para calon legislator tiap kali turun ke daerah pemilihan
tanpa harus melaporkannya sebagai
biaya kampanye.
Sistem suara terbanyak
mendorong para caleg untuk bersaing dengan
optimal termasuk dengan caleg yang berasal dari sesama partai. Akibatnya persaingan lebih berat, baik dari
segi tenaga maupun biaya. Kalau dulu para caleg incumbent yang biasanya mendapat nomor urut atas (nomor jadi) tidak perlu
terlalu bekerja keras, maka lain halnya dengan pemilu 2009. Para caleg dituntut
untuk intensif turun ke lapangan
mencari dukungan pemilih yang artinya
juga harus mempunyai dana besar. Keperluan dana yang besar tersebut diperparah
dengan masih adanya partai yang mempraktikkan
syarat pemberian uang untuk menduduki satu kursi caleg, bahkan gaji
mereka dipotong untuk partai jika terpilih nanti.
Semua itu memicu perilaku koruptif caleg atau anggota legislatif untuk
melakukan korupsi pemilu.
Teten
Masduki menjelaskan bahwa model kampanye clientelistic,
dengan iming-iming materi dan bentuk varian lainnya (direct payment) untuk menarik simpati
pemilih secara perorangan
atau kelompok kecil dalam masyarakat, tampak amat dominan dalam kampanye Pemilu 2009 ketimbang bentuk kampanye programmatic policy. Hal
tersebut dikarenakan sebagian
besar parpol miskin gagasan atau ideologi berhadapan dengan pemilih irasional yang menginginkan
pembayaran langsung karena alasan
kemiskinan atau kapok bertubi-tubi ditipu janji-janji politik. Dari sisi
korupsi, model kompetisi clientelistic akan memberikan tekanan besar terhadap penyimpangan dana publik dan kian memperkuat struktur korupsi.
Hal itu mulai dari bentuk
penggunaan dana dan sarana publik untuk memperluas basis pendukung pada saat pemilu (pork-barrel
spending), alokasi
program pemerintah ke basis konstituen partai (allocational policies), hingga melanggengkan
relasi patronase
politik dan bisnis.
Sebenarnya
sejak era reformasi, sistem akuntabilitas politik kita secara kerangka hukum telah memadai,
lewat pengaturan dana parpol dan dana kampanye yang mengacu kepada standar universal. Yang pokok ada pembatasan nilai
donasi, transparansi, dan
kewajiban audit publik. Namun faktanya, ketaatan parpol terhadap aturan dana politik masih rendah,
dan KPU seperti tidak berdaya terhadap berbagai penyimpangan yang terjadi
secara kasatmata. Kini, keadaannya jauh lebih parah karena aturan dana kampanye
menjadi tidak efektif saat kampanye dilakukan
secara individual oleh para calon, bukan melalui partai sebagaimana mestinya.
Lebih
parah lagi, pimpinan KPU sempat membuat diskresi tentang batas donasi dana kampanye, yaitu batas maksimal sumbangan per transaksi bukan setahun
sebagaimana lazimnya. Dengan
begitu, batas donasi kampanye, yang untuk perorangan maksimal Rp 1 miliar dan perusahaan Rp 5
miliar, menjadi tidak terbatas jumlahnya. Padahal, pembatasan dana politik (parpol dan kampanye) sejatinya guna mencegah
korupsi politik (state capture)
dengan membebaskan kandidat, partai, dan
calon terpilih dari pengaruh yang tidak diinginkan dari kontributornya.
Namun
dibalik itu semua, fenomena perilaku pemilih yang sudah
cenderung permisif dan melagalkan praktik korupsi pemilu
dengan cara terlibat atau melibatkan diri dalam praktik- praktik
politik kotor tersebut, juga menjadi akar-akar kriminogen yang
sangat berpengaruh terhadap munculnya perilaku koruptif Parpol dan Caleg.
Karena seperti dikemukakan dalam berbagai kajian kriminologi, bahwa
suatu kejahatan sulit terjadi tanpa ada peran (tanpa sadar) dari
korban dan masyarakat.HALAMAN SELANJUTNYA.... 01, 02, 03, 04, 05, 06, 07, 08