Sahabat Intrans Publishing,


Karya Kelompok Intrans Publishing
Setara
Intrans
Madani
Beranda
Empat Dua
Selaksa

Senin, 30 Januari 2012

HALAMAN 06


C.   Perilaku Koruptif dan Akar-akar Kriminogen Praktik Korupsi Pemilu dalam Ketentuan Dana Kampanye Faktor-faktor Pemicu Korupsi Pemilu
Putusan MK pada 23 Desember 2009, yang merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat, telah menyatakan dalam diktum putusannya bahwa penentuan calon yang ditetapkan sebagai calon terpilih pada Pemilu Legislatif tahun 2009 adalah berdasar pada perolehan suara terbanyak masing- masing calon. Sehingga siapa yang akan ditetapkan menjadi calon anggota legislatif periode 2009-2014 adalah mereka yang memperoleh suara terbanyak.
Dengan demikian, maka pemilu legislatif 2009 menunjukkan ketidakkonsistenan yang serius. Dimana, pengaturan pemilu legislatif yang awalnya berbasis parpol (dimana dana kampanye dikelola, dicatat, dan dilaporkan oleh partai politik), ternyata tidak bisa mengakomodir dan menjadi alat kontrol bagi pelaku kampanye yang sudah berbasis calon legislatif. Dengan demikian, Putusan MK yang mengabulkan permohonan uji materil penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak untuk suara terbanyak dalam UU No. 10 Tahun 2008 tersebut, telah menimbulkan kerumitan dalam hal pencatatan dan pelaporan dana kampanye.
Terbukanya kesempatan untuk menjadi calon terpilih tanpa harus memperhitungkan lagi nomor urut pencalonan, para calon akan memaksimalkan kampanye mereka. Selain partai politik, yang memang memiliki organ khusus pemenangan pemilu, para calon juga ikut membentuk tim dan dana kampanye sendiri. Inilah yang menjadi titik tolak munculnya perilaku koruptif dari masing-masing Parpol dan Caleg, dengan cara memanfaatkan kelemahan aturan dalam UU yang tidak dapat menjangkau calon anggota legislatif. Hal ini juga didasarkan pada pengalaman Pilpres dan Pilkada yang berbasis kandidat, parpol hanya menjadi kendaraan politik para calon dan cenderung pasif dalam pengelolaan kampanye. Pengelolaan dana kampanye lebih terfokus di kandidat, akan tetapi tidak dapat diproses secara hukum karena penanggungjawab dana kampanye ada di partai politik. Sementara pencatatan dana kampanye di tingkatan partai politik tidak akan mendeskripsikan dana kampanye yang sebenarnya dimiliki atau digunakan oleh Caleg. Sehingga dana kampanye yang ada pada masing-masing Caleg tidak dapat terkontrol.
Partai politik banyak yang menyiasati dengan membiarkan caleg-calegnya untuk mengumpulkan dana kampanye sebanyak mungkin dan tidak mengawasi penggunaannya, asalkan untuk memenangkan pemilu. Sementara para caleg menilai, bahwa dengan suara terbanyaklah yang bisa menjadikan dirinya terpilih menjadi anggota legislatif. Maka terjadilah persaingan yang tidak sehat di internal partai politik itu sendiri, yang secara tidak langsung memaksa para caleg untuk mempraktikkan cara-cara ilegal demi kemenangan dirinya.
Maka kemudian muncul tindakan-tindakan yang merupakan bentuk korupsi pemilu, seperti money politics, penyalahgunaan wewenang, penyelahgunaan fasilitas jabatan, manipulasi dana kampanye, dan praktik koruptif lainnya. Bahkan beberapa kasus korupsi tersebut dilakukan oleh beberapa anggota legislatif periode 2004-2009.
Putusan MK juga telah membawa pengaruh terhadap aspek yuridis UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif, khususnya pada pengaturan dana kampanye. Sebagaimana diketahui, bingkai regulasi dana kampanye dalam UU Pemilu Legislatif menempatkan partai politik sebagai peserta pemilu. Sementara itu, calon legislator merupakan bagian dari partai politik. Secara faktual calon legislator adalah peserta pemilu bersama-sama partai politik dan calon anggota DPD. Masalahnya, yang tidak diantisipasi adalah tidak adanya kewajiban sama sekali pelaporan dana kampanye bagi calon legislator.
Kombinasi antara pertarungan yang kian tinggi antar calon legislator dan ketiadaan kewajiban pertanggungjawaban dana kampanye bagi calon legislator membuka peluang lebar bagi penyalahgunaan dana kampanye. Jika praktek pemberian uang atau materi lainnya dalam pemilu dilihat sebagai pengeluaran dana kampanye, politik uang adalah pelanggaran terhadap aturan dana kampanye. Kekosongan hukum dalam konteks aturan dana kampanye calon legislator inilah yang meningkatkan praktek politik uang dalam pemilu legislatif 2009.
Pada konteks ini, Emile Durkheim menilai bahwa terjadinya kejahatan karena adanya kondisi normlessness (kekosongan norma) yang merupakan akibat dari struktur sosial yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Menurut Durkheim, penjelasan tentang perbuatan salah manusia tidak terletak pada diri individu, tetapi terletak pada kelompok dan organisasi sosial, di mana dalam konteks ini terjadi kondisi yang anomie atau hancurnya keteraturan sosial sebagai akibat dari hilangnya patokan-patokan nilai-nilai.
Meski berlatar pemikiran yang berbeda dengan Durkheim, Robert Merton memandang ada sebab lain kenapa terjadi anomie, yang menurutnya, "Anomie does not result simply from the unregulated goals that Durkheim discussed, then, but rather from a faulty relationship between goals and the legitimate menas of access to them. The problems is a combination of shared success goals and the limited menas for their attainment".
Kasus dugaan suap yang diterima anggota Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat, Abdul Hadi Djamal, hal ini menurut Arbi Sanit dilakukan walau partai sudah teken pakta antikorupsi, dia terpaksa melakukan karena kebutuhan untuk menang.
Sistem suara terbanyak adalah mekanisme baru dalam Pemilihan Umum di Indonesia. Sistem ini mengatur mekanisme untuk meraih kursi di Parlemen, dimana hanya calon yang meraih suara paling banyak dialah yang berhak duduk sebagai anggota legislatif. Tingginya biaya yang diperlukan untuk kampanye dinilai ikut menjadi akar-akar kriminogen atas terjadinya korupsi pemilu dengan melipatgandakan kebutuhan dana kampanye bagi para calon legislator tiap kali turun ke daerah pemilihan tanpa harus melaporkannya sebagai biaya kampanye.
Sistem suara terbanyak mendorong para caleg untuk bersaing dengan optimal termasuk dengan caleg yang berasal dari sesama partai. Akibatnya persaingan lebih berat, baik dari segi tenaga maupun biaya. Kalau dulu para caleg incumbent yang biasanya mendapat nomor urut atas (nomor jadi) tidak perlu terlalu bekerja keras, maka lain halnya dengan pemilu 2009. Para caleg dituntut untuk intensif turun ke lapangan mencari dukungan pemilih yang artinya juga harus mempunyai dana besar. Keperluan dana yang besar tersebut diperparah dengan masih adanya partai yang mempraktikkan syarat pemberian uang untuk menduduki satu kursi caleg, bahkan gaji mereka dipotong untuk partai jika terpilih nanti. Semua itu memicu perilaku koruptif caleg atau anggota legislatif untuk melakukan korupsi pemilu.
Teten Masduki menjelaskan bahwa model kampanye clientelistic, dengan iming-iming materi dan bentuk varian lainnya (direct payment) untuk menarik simpati pemilih secara perorangan atau kelompok kecil dalam masyarakat, tampak amat dominan dalam kampanye Pemilu 2009 ketimbang bentuk kampanye programmatic policy. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar parpol miskin gagasan atau ideologi berhadapan dengan pemilih irasional yang menginginkan pembayaran langsung karena alasan kemiskinan atau kapok bertubi-tubi ditipu janji-janji politik. Dari sisi korupsi, model kompetisi clientelistic akan memberikan tekanan besar terhadap penyimpangan dana publik dan kian memperkuat struktur korupsi. Hal itu mulai dari bentuk penggunaan dana dan sarana publik untuk memperluas basis pendukung pada saat pemilu (pork-barrel spending), alokasi program pemerintah ke basis konstituen partai (allocational policies), hingga melanggengkan relasi patronase
politik dan bisnis.
Sebenarnya sejak era reformasi, sistem akuntabilitas politik kita secara kerangka hukum telah memadai, lewat pengaturan dana parpol dan dana kampanye yang mengacu kepada standar universal. Yang pokok ada pembatasan nilai donasi, transparansi, dan kewajiban audit publik. Namun faktanya, ketaatan parpol terhadap aturan dana politik masih rendah, dan KPU seperti tidak berdaya terhadap berbagai penyimpangan yang terjadi secara kasatmata. Kini, keadaannya jauh lebih parah karena aturan dana kampanye menjadi tidak efektif saat kampanye dilakukan secara individual oleh para calon, bukan melalui partai sebagaimana mestinya.
Lebih parah lagi, pimpinan KPU sempat membuat diskresi tentang batas donasi dana kampanye, yaitu batas maksimal sumbangan per transaksi bukan setahun sebagaimana lazimnya. Dengan begitu, batas donasi kampanye, yang untuk perorangan maksimal Rp 1 miliar dan perusahaan Rp 5 miliar, menjadi tidak terbatas jumlahnya. Padahal, pembatasan dana politik (parpol dan kampanye) sejatinya guna mencegah korupsi politik (state capture) dengan membebaskan kandidat, partai, dan calon terpilih dari pengaruh yang tidak diinginkan dari kontributornya.
Namun dibalik itu semua, fenomena perilaku pemilih yang sudah cenderung permisif dan melagalkan praktik korupsi pemilu dengan cara terlibat atau melibatkan diri dalam praktik- praktik politik kotor tersebut, juga menjadi akar-akar kriminogen yang sangat berpengaruh terhadap munculnya perilaku koruptif Parpol dan Caleg. Karena seperti dikemukakan dalam berbagai kajian kriminologi, bahwa suatu kejahatan sulit terjadi tanpa ada peran (tanpa sadar) dari korban dan masyarakat.

HALAMAN SELANJUTNYA.... 01, 02, 03, 04, 05, 06, 07, 08

Related Post