B. Polemik Terkait Penal/Non-Penal Policy
tentang Dana
Kampanye pada Pemilu Legislatif 2009 Politik Hukum Pidana
Berbicara penal dan
non-penal policy tidak bisa lepas dari kajian tentang politik hukum, terlebih apabila yang
dibahas adalah hukum politik.
Politik hukum adalah kebijakan politik yang
menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku dalam
mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam hal ini, hukum tidak dapat
hanya dipandang sebagai
pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan- keharusan yang bersifat das sollen,
melainkan harus dipandang sebagai
subsistem yang dalam kenyataan (das sein) bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik
dalam perumusan materi
dan pasal-pasalnya maupun dalam implementasi dan penegakannya.
Politik hukum merupakan
suatu kebijakan dalam tataran makro, sedangkan
politik hukum pidana(penalpolicy) merupakan kebijakan dalam tataran
mikro. Politik hukum pidana sebagai suatu upaya penanggulangan kejahatan dengan
menggunakan sarana penal yaitu hukum
pidana. Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana merupakan
bagian dari strategi dari kebijakan kriminal. Oleh karena itu, kebijakan penanggulangan kejahatan (termasuk kejahatan
korporasi) harus dikaji secara
integral dari sisi kebijakan kriminal (criminal policy) yang secara luas juga merupakan bagian integral dari kebijakan sosial (social policy).
Politik kriminal atau
kebijakan kriminal (criminal policy) adalah usaha rasional untuk menanggulangi suatu kejahatan
(termasuk korupsi pemilu).
Politik kriminal ini merupakan bagian tidak terpisahkan dari kebijakan
penegakan hukum dalam
arti luas (law enforcement policy). Dan keduanya, yaitu criminal
policy dan law enforcement policy merupakan bagian dari kebijakan sosial (social policy),
yakni suatu upaya dari masyarakat
atau negara untuk meningkatkan kesejahteraan
warganya.
Marc Ancel juga memberi definisi bahwa "Criminal
policy as the
rational organization of the control of crime by society (kebijakan penanggulangan kejahatan adalah
upaya rasional secara
resmi dari masyarakat dalam mengontrol terjadinya kejahatan)." Hofnagels kemudian
mempertegas definisi tersebut dengan
menyatakan bahwa "Criminal policy is the rational organization of the social reaction to crime (bahwa kebijakan kriminal merupakan upaya organisasional
sebagai rekasi
masyarakat terhadap kejahatan)."
Kebijakan kriminal ini,
disamping dapat dilakukan secara represif
melalui sistem peradilan pidana (pendekatan penal) juga dapat dilakukan dengan sarana non penal
dengan berbagai usaha pencegahan tanpa harus menggunakan sistem peradilan pidana (misalnya usaha penyehatan mental
masyarakat, penyuluhan hukum penerapan
hukum perdata dan adminstrasi, dan
sebagainya).
Criminal policy, apabila dilakukan dengan menggunakan sarana penal (penal policy), maka
titik beratnya harus diarahkan bagaimana
memungkinkan peraturan-peraturan pidana positif dapat dirumuskan lebih baik
(sebagai petunjuk bagi legislator) dan bagaimana peraturan tersebut dapat
ditegakkan secara baik pula (pedoman bagi penegak hukum). Dengan demikian,
penal policy pada intinya adalah bagaimana hukum pidana
dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang, kebijakan aplikasi, dan
pelaksanaan hukum pidana. Sehingga dengan penal/non-penal policy yang
baik, maka sangat dimungkinkan praktik penyiasatan kejahatan pemilu dapat dicegah.
Dengan
demikian, apabila penanggulangan korupsi pemilu hendak dilakukan dengan
menggunakan penal policy, maka hal itu
harus dilakukan dengan serius dan sadar akan semuan faktor yang dapat menghambat dan mendukung kebijakan
tersebut. Artinya, memilih dan menetapkan
hukum pidana sebagai sarana
untuk menanggulangi tindak pidana pemilu (seperti korupsi pemilu) benar-benar telah
memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya
hukum pidana dalam kenyataannya. Oleh karena itu proses kriminalisasi korupsi
pemilu (yang meliputi praktik money politics,
penyalahgunaan jabatan, dan penyimpangan dana kampanye) harus terus dievaluasi. Karena kebijakan hukum
pidana yang tidak terintegrasikan dengan kebijakan lainnya, seperti social policy, social defence
policy, social welfare policy, law enforcement policy dan criminal
policy, justru bisa menjadi kriminogen (faktor penyebab terjadinya
kriminalitas) baru yang justru tidak bisa ditanggulangi oleh aturan hukum itu
sendiri.
HALAMAN SELANJUTNYA.... 01, 02, 03, 04, 05, 06, 07, 08