Sahabat Intrans Publishing,


Karya Kelompok Intrans Publishing
Setara
Intrans
Madani
Beranda
Empat Dua
Selaksa

Senin, 30 Januari 2012

HALAMAN 03


B. Polemik Terkait Penal/Non-Penal Policy tentang Dana Kampanye pada Pemilu Legislatif 2009 Politik Hukum Pidana
Berbicara penal dan non-penal policy tidak bisa lepas dari kajian tentang politik hukum, terlebih apabila yang dibahas adalah hukum politik. Politik hukum adalah kebijakan politik yang menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku dalam mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam hal ini, hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan- keharusan yang bersifat das sollen, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan (das sein) bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya maupun dalam implementasi dan penegakannya.
Politik hukum merupakan suatu kebijakan dalam tataran makro, sedangkan politik hukum pidana(penalpolicy) merupakan kebijakan dalam tataran mikro. Politik hukum pidana sebagai suatu upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana penal yaitu hukum pidana. Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana merupakan bagian dari strategi dari kebijakan kriminal. Oleh karena itu, kebijakan penanggulangan kejahatan (termasuk kejahatan korporasi) harus dikaji secara integral dari sisi kebijakan kriminal (criminal policy) yang secara luas juga merupakan bagian integral dari kebijakan sosial (social policy).
Politik kriminal atau kebijakan kriminal (criminal policy) adalah usaha rasional untuk menanggulangi suatu kejahatan (termasuk korupsi pemilu). Politik kriminal ini merupakan bagian tidak terpisahkan dari kebijakan penegakan hukum dalam arti luas (law enforcement policy). Dan keduanya, yaitu criminal policy dan law enforcement policy merupakan bagian dari kebijakan sosial (social policy), yakni suatu upaya dari masyarakat atau negara untuk meningkatkan kesejahteraan
warganya.
Marc Ancel  juga memberi definisi bahwa "Criminal policy as the rational organization of the control of crime by society (kebijakan penanggulangan kejahatan adalah upaya rasional secara resmi dari masyarakat dalam mengontrol terjadinya kejahatan)." Hofnagels kemudian mempertegas definisi tersebut dengan menyatakan bahwa "Criminal policy is the rational organization of the social reaction to crime (bahwa kebijakan kriminal merupakan upaya organisasional sebagai rekasi
masyarakat terhadap kejahatan)."
Kebijakan kriminal ini, disamping dapat dilakukan secara represif melalui sistem peradilan pidana (pendekatan penal) juga dapat dilakukan dengan sarana non penal dengan berbagai usaha pencegahan tanpa harus menggunakan sistem peradilan pidana (misalnya usaha penyehatan mental masyarakat, penyuluhan hukum penerapan hukum perdata dan adminstrasi, dan sebagainya).
Criminal policy, apabila dilakukan dengan menggunakan sarana penal (penal policy), maka titik beratnya harus diarahkan bagaimana memungkinkan peraturan-peraturan pidana positif dapat dirumuskan lebih baik (sebagai petunjuk bagi legislator) dan bagaimana peraturan tersebut dapat ditegakkan secara baik pula (pedoman bagi penegak hukum). Dengan demikian, penal policy pada intinya adalah bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang, kebijakan aplikasi, dan pelaksanaan hukum pidana. Sehingga dengan penal/non-penal policy yang baik, maka sangat dimungkinkan praktik penyiasatan kejahatan pemilu dapat dicegah.
Dengan demikian, apabila penanggulangan korupsi pemilu hendak dilakukan dengan menggunakan penal policy, maka hal itu harus dilakukan dengan serius dan sadar akan semuan faktor yang dapat menghambat dan mendukung kebijakan tersebut. Artinya, memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana untuk menanggulangi tindak pidana pemilu (seperti korupsi pemilu) benar-benar telah memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya hukum pidana dalam kenyataannya. Oleh karena itu proses kriminalisasi korupsi pemilu (yang meliputi praktik money politics, penyalahgunaan jabatan, dan penyimpangan dana kampanye) harus terus dievaluasi. Karena kebijakan hukum pidana yang tidak terintegrasikan dengan kebijakan lainnya, seperti social policy, social defence policy, social welfare policy, law enforcement policy dan criminal policy, justru bisa menjadi kriminogen (faktor penyebab terjadinya kriminalitas) baru yang justru tidak bisa ditanggulangi oleh aturan hukum itu sendiri.

HALAMAN SELANJUTNYA.... 01, 02, 03, 04, 05, 06, 07, 08

Related Post