B. Ajaran Kedaulatan Rakyat
Pemilihan umum adalah suatu
lembaga yang berfungsi sebagai
sarana penyampaian hak-hak demokrasi rakyat. Eksistensi kelembagaan pemilihan umum sudah diakui oleh
negara-negara yang bersendikan asas kedaulatan rakyat. Inti persoalan pemilihan umum bersumber pada dua
masalah pokok yang selalu
dipersoalkan dalam praktek kehidupan ketatanegaraan,
yaitu mengenai ajaran kedaulatan rakyat dan paham demokrasi, di mana demokrasi sebagai perwujudan kedaulatan rakyat serta pemilihan umum
merupakan cerminan daripada
demokrasi.
Kegiatan pemilihan umum (generalelection)
juga merupakan salah
satu sarana penyaluran hak asasi warga negara yang sangat prinsipil. Oleh karena itu, dalam rangka
pelaksanaan hak-hak asasi
warga negara adalah keharusan bagi pemerintah untuk menjamin terlaksananya
penyelenggaraan pemilihan umum sesuai
dengan jadwal ketatanegaraan yang telah ditentukan. Sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat di mana
rakyatlah yang berdaulat,
maka semua aspek penyelenggaraan pemilihan umum itu sendiri pun harus juga dikembalikan kepada rakyat
untuk menentukannya. Adalah pelanggaran terhadap hak-hak asasi apabila pemerintah tidak menjamin
terselenggaranya pemilihan umum,
memperlambat penyelenggaraan pemilihan umum tanpa persetujuan para wakil rakyat, ataupun tidak
melakukan apa-apa
sehingga pemilihan umum tidak terselenggara sebagaimana mestinya.
Di samping pemilihan umum,
metode penyaluran pendapat umum
rakyat juga dapat dilakukan dengan referendum dan plebisit. Namun yang dikenal di Indonesia
hanya referendum. Misalnya,
untuk mengatasi jangan sampai UUD 1945 diubah dengan mudah, Majelis Permusyawaratan Rakyat pernah menetapkan Ketetapan MPR tentang Referendum,
yaitu TAP MPR Nomor IV/MPR/1983.
Meskipun kemudian dengan Ketetapan
MPR Nomor VIII/MPR/1998, Ketetapan Nomor IV/ MPR/1983 ini dicabut kembali, tetapi menarik untuk
dicatat bahwa lembaga referendum itu pernah dikenal dalam sistim ketatanegaraan Indonesia, meskipun hal itu
belum pernah dipraktikkan.
Pasal 2 Ketetapan MPR No.
IV/MPR/1983 itu menentukan, "Apabila MPR berkehendak untuk merubah UUD
1945, terlebih dahulu
harus meminta pendapat rakyat melalui referendum". Pasal 3, menentukan, "Referendum
dilaksanakan oleh Presiden / Mandataris MPR yang diatur
dengan undangundang". Sedangkan dalam
Pasal 4 Ketetapan ini dinyatakan, "Dengan ditetapkannya Ketetapan tentang Referendum ini, maka ketentuan
Undang- Undang mengenai pengangkatan
1/3 anggota Majelis ditinjau kembali".
Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa ketentuan operasional mengenai penyelenggaraan referendum itu
sendiri masih harus dielaborasi dalam
undang-undang. Akan tetapi, secara
umum dapat diketahui bahwa tujuan referendum itu adalah untuk meminta pendapat rakyat apakah rakyat
menyetujui atau tidak menyetujui
kehendak MPR untuk mengubah UUD 1945.
Sementara itu, Rousseau
melihat bahwa kedaulatan rakyat hanya
merupakan fiksi saja, karena rakyat dapat mewakilkan kekuasaannya dengan berbagai cara, yaitu
dapat kepada seorang saja
atau beberapa orang, kepada suatu korps pemilih, bahkan dapat juga
turun-menurun. Jadi kedaulatan ini sebenamya tidak terletak lagi pada rakyat secara utuh dan bulat. Tetapi yang
penting dalam, ajaran itu adalah bahwa
kedaulatan itu dinyatakan dalam bentuk pernyataan kehendak, sehingga kedaulatan
itu diwujudkan dalam pernyataan untuk menyampaikan kehendak rakyat.
Penyampaian pernyataan
kehendak rakyat melalui sistem perwakilan, dan anjuran Rousseau dalam
ajaran kedaulatannya untuk
menerapkan kedaulatan rakyat itu melalui sistem demokrasi, menunjukkan adanya
hubungan antara ajaran kedaulatan rakyat dengan sistem demokrasi dalam suatu rangkaian bulat yang tidak dapat dipisahkan
satu dengan yang lainnya.
Dengan demikian, pemilihan umum itu tidak lain merupakan cara yang diselenggarakan untuk memilih wakil-wakil rakyat secara demokratis.
Bagi negara-negara modern
terutama negara yang dalam sistem konstitusi atau Undang-Undang Dasarnya
jelas-jelas mencantumkan asas kedaulatan rakyat sebagai dasar dalam praktek
ketatanegaraannya, maka negara yang bersangkutan dapat diklasifikasikan sebagai negara demokrasi. Bahkan
negara totaliter pun menyatakan dirinya sebagai negara demokrasi yang melandasi penyelenggaraan pemerintahan
negaranya. Namun isi dari demokrasi itu mungkin akan berbeda-beda di setiap negara. Akan tetapi hakikat daripada demokrasi
tetap sama di dalam
pengertian sebagai pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat.
Sistem demokrasi modern,
legalitas dan legitimasi pemerintahan
merupakan f`ktor yang sangat penting. Di satu pihak, suatu pemerintahan haruslah terbentuk berdasarkan
ketentuan hukum dan konstitusi, sehingga dapat dikatakan memiliki legalitas. Di lain pihak,
pemerintahan itu juga harus legitimate, dalam arti bahwa di samping legal, ia
juga harus dipercaya. Tentu akan timbul keragu-raguan, apabila suatu pemerintah menyatakan diri sebagai berasal
dari rakyat, sehingga dapat disebut
sebagai pemerintahan demokrasi, padahal pembentukannya tidak didasarkan hasil
pemilihan umum. Artinya, setiap
pemerintahan demokratis yang mengaku berasal
dari rakyat, memang diharuskan sesuai dengan hasil pemilihan umum sebagai ciri yang penting atau
pilar yang pokok dalam sistem demokrasi modern.
Secara etimologis, kata
demokrasi berasal dari kata demos yang
berarti rakyat, dan cratein yang berarti pemerintahan, maka demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat
di mana kekuasaan tertinggi di
tangan rakyat dan dilakukan langsung atau tidak langsung atas dasar suatu
sistem perwakilan. Asas dari
demokrasi sebagaimana terkandung di dalam pengertiannya tidak terjadi perubahan di dalam sejarah
ketatanegaraan, yaitu sistem pemerintahan negara di mana dipegang oleh rakyat
atau setidak-tidaknya rakyat diikut sertakan di dalam pembicaraan
masalah-masalah pemerintahan negara.
Pengertian lain yang
diberikan terhadap demokrasi adalah suatu
pemerintahan di mana rakyat ikut serta memerintah (modergen), baik secara langsung yang terdapat pada masyarakat-masyarakat yang masih sederhana
(demokrasi langsung), maupun tidak
langsung (demokrasi tidak langsung), yang
terdapat dalam negara-negara modern.
Kalau disimpulkan maka
pengertian ini menunjuk pada cara atau
sistem serta di mana sistem itu dapat dilangsungkan. Cara demokrasi dalam sejarah ketatanegaraan
dipraktekkan di zaman Yunani
Kuno di dalam negara berbentuk negara kota (polis) yaitu pada masa sebelum ajaran kedaulatan
rakyat dikemukakan oleh
Rousseau muncul. Demokrasi pada zaman Yunani Kuno, memang benar-benar
dijalankan secara mumi, artinya seluruh rakyat
dapat diikutsertakan dalam memecahkan persoalan-persoalan negara yaitu seluruh rakyat dikumpulkan pada
suatu tempat untuk diajak
berbicara tentang persoalan kenegaraan. Demokrasi langsung ala Yunani Kuno.
tidak mungkin dapat dilaksanakan lagi pada negara modern dewasa ini mengingat
luasnya wilayah negara, rakyat tersebar diberbagai pelosok wilayah.
Kembali pada persoalan
pengertian kedaulatan rakyat, Undang-Undang Dasar 1945 dengan tegas menganut
asas kedaulatan rakyat (volssouvereiniteit).
Sendi Negara itu tercantum dalam
Pasal 1, ayat 2 : "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar." Ajaran kedaulatan yang dianut dalam
Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 adalah kedaultan rakyat. Ketentuan ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan kedaulatan
itu tidak lain dan tidak
bukan adalah kekuasaan negara yang tertinggi. Kemudian pengertian lain dari kedaulatan adalah
wewenang tertinggi yang menentukan segala wewenang yang ada dalam suatu negara.
Dari kedua pengertian
kedaulatan tersebut tadi, maka kedaulatan rakyat dalam makna pertama adalah
kekuasaan negara tertinggi berada di tangan rakyat. Sedangkan pada pengertian
kedua maka kedaulatan rakyat adalah rakyatlah yang mempunvai wewenang tertinggi untuk menentukan segala
wewenang yang ada dalam suatu negara.
HALAMAN SELANJUTNYA .... 01, 02, 03, 04, 05, 06, 07, 08