Sahabat Intrans Publishing,


Karya Kelompok Intrans Publishing
Setara
Intrans
Madani
Beranda
Empat Dua
Selaksa

Kamis, 26 Januari 2012


B.   Ajaran Kedaulatan Rakyat
Pemilihan umum adalah suatu lembaga yang berfungsi sebagai sarana penyampaian hak-hak demokrasi rakyat. Eksistensi kelembagaan pemilihan umum sudah diakui oleh negara-negara yang bersendikan asas kedaulatan rakyat. Inti persoalan pemilihan umum bersumber pada dua masalah pokok yang selalu dipersoalkan dalam praktek kehidupan ketatanegaraan, yaitu mengenai ajaran kedaulatan rakyat dan paham demokrasi, di mana demokrasi sebagai perwujudan kedaulatan rakyat serta pemilihan umum merupakan cerminan daripada demokrasi.
Kegiatan pemilihan umum (generalelection) juga merupakan salah satu sarana penyaluran hak asasi warga negara yang sangat prinsipil. Oleh karena itu, dalam rangka pelaksanaan hak-hak asasi warga negara adalah keharusan bagi pemerintah untuk menjamin terlaksananya penyelenggaraan pemilihan umum sesuai dengan jadwal ketatanegaraan yang telah ditentukan. Sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat di mana rakyatlah yang berdaulat, maka semua aspek penyelenggaraan pemilihan umum itu sendiri pun harus juga dikembalikan kepada rakyat untuk menentukannya. Adalah pelanggaran terhadap hak-hak asasi apabila pemerintah tidak menjamin terselenggaranya pemilihan umum, memperlambat penyelenggaraan pemilihan umum tanpa persetujuan para wakil rakyat, ataupun tidak melakukan apa-apa sehingga pemilihan umum tidak terselenggara sebagaimana mestinya.
Di samping pemilihan umum, metode penyaluran pendapat umum rakyat juga dapat dilakukan dengan referendum dan plebisit. Namun yang dikenal di Indonesia hanya referendum. Misalnya, untuk mengatasi jangan sampai UUD 1945 diubah dengan mudah, Majelis Permusyawaratan Rakyat pernah menetapkan Ketetapan MPR tentang Referendum, yaitu TAP MPR Nomor IV/MPR/1983. Meskipun kemudian dengan Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1998, Ketetapan Nomor IV/ MPR/1983 ini dicabut kembali, tetapi menarik untuk dicatat bahwa lembaga referendum itu pernah dikenal dalam sistim ketatanegaraan Indonesia, meskipun hal itu belum pernah dipraktikkan.
Pasal 2 Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 itu menentukan, "Apabila MPR berkehendak untuk merubah UUD 1945, terlebih dahulu harus meminta pendapat rakyat melalui referendum". Pasal 3, menentukan, "Referendum dilaksanakan oleh Presiden / Mandataris MPR yang diatur dengan undangundang". Sedangkan dalam Pasal 4 Ketetapan ini dinyatakan, "Dengan ditetapkannya Ketetapan tentang Referendum ini, maka ketentuan Undang- Undang mengenai pengangkatan 1/3 anggota Majelis ditinjau kembali". Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa ketentuan operasional mengenai penyelenggaraan referendum itu sendiri masih harus dielaborasi dalam undang-undang. Akan tetapi, secara umum dapat diketahui bahwa tujuan referendum itu adalah untuk meminta pendapat rakyat apakah rakyat menyetujui atau tidak menyetujui kehendak MPR untuk mengubah UUD 1945.
Sementara itu, Rousseau melihat bahwa kedaulatan rakyat hanya merupakan fiksi saja, karena rakyat dapat mewakilkan kekuasaannya dengan berbagai cara, yaitu dapat kepada seorang saja atau beberapa orang, kepada suatu korps pemilih, bahkan dapat juga turun-menurun. Jadi kedaulatan ini sebenamya tidak terletak lagi pada rakyat secara utuh dan bulat. Tetapi yang penting dalam, ajaran itu adalah bahwa kedaulatan itu dinyatakan dalam bentuk pernyataan kehendak, sehingga kedaulatan itu diwujudkan dalam pernyataan untuk menyampaikan kehendak rakyat.
Penyampaian pernyataan kehendak rakyat melalui sistem perwakilan, dan anjuran Rousseau dalam ajaran kedaulatannya untuk menerapkan kedaulatan rakyat itu melalui sistem demokrasi, menunjukkan adanya hubungan antara ajaran kedaulatan rakyat dengan sistem demokrasi dalam suatu rangkaian bulat yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, pemilihan umum itu tidak lain merupakan cara yang diselenggarakan untuk memilih wakil-wakil rakyat secara demokratis.
Bagi negara-negara modern terutama negara yang dalam sistem konstitusi atau Undang-Undang Dasarnya jelas-jelas mencantumkan asas kedaulatan rakyat sebagai dasar dalam praktek ketatanegaraannya, maka negara yang bersangkutan dapat diklasifikasikan sebagai negara demokrasi. Bahkan negara totaliter pun menyatakan dirinya sebagai negara demokrasi yang melandasi penyelenggaraan pemerintahan negaranya. Namun isi dari demokrasi itu mungkin akan berbeda-beda di setiap negara. Akan tetapi hakikat daripada demokrasi tetap sama di dalam pengertian sebagai pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat.
Sistem demokrasi modern, legalitas dan legitimasi pemerintahan merupakan f`ktor yang sangat penting. Di satu pihak, suatu pemerintahan haruslah terbentuk berdasarkan ketentuan hukum dan konstitusi, sehingga dapat dikatakan memiliki legalitas. Di lain pihak, pemerintahan itu juga harus legitimate, dalam arti bahwa di samping legal, ia juga harus dipercaya. Tentu akan timbul keragu-raguan, apabila suatu pemerintah menyatakan diri sebagai berasal dari rakyat, sehingga dapat disebut sebagai pemerintahan demokrasi, padahal pembentukannya tidak didasarkan hasil pemilihan umum. Artinya, setiap pemerintahan demokratis yang mengaku berasal dari rakyat, memang diharuskan sesuai dengan hasil pemilihan umum sebagai ciri yang penting atau pilar yang pokok dalam sistem demokrasi modern.
Secara etimologis, kata demokrasi berasal dari kata demos yang berarti rakyat, dan cratein yang berarti pemerintahan, maka demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat di mana kekuasaan tertinggi di tangan rakyat dan dilakukan langsung atau tidak langsung atas dasar suatu sistem perwakilan. Asas dari demokrasi sebagaimana terkandung di dalam pengertiannya tidak terjadi perubahan di dalam sejarah ketatanegaraan, yaitu sistem pemerintahan negara di mana dipegang oleh rakyat atau setidak-tidaknya rakyat diikut sertakan di dalam pembicaraan masalah-masalah pemerintahan negara.
Pengertian lain yang diberikan terhadap demokrasi adalah suatu pemerintahan di mana rakyat ikut serta memerintah (modergen), baik secara langsung yang terdapat pada masyarakat-masyarakat yang masih sederhana (demokrasi langsung), maupun tidak langsung (demokrasi tidak langsung), yang terdapat dalam negara-negara modern.
Kalau disimpulkan maka pengertian ini menunjuk pada cara atau sistem serta di mana sistem itu dapat dilangsungkan. Cara demokrasi dalam sejarah ketatanegaraan dipraktekkan di zaman Yunani Kuno di dalam negara berbentuk negara kota (polis) yaitu pada masa sebelum ajaran kedaulatan rakyat dikemukakan oleh Rousseau muncul. Demokrasi pada zaman Yunani Kuno, memang benar-benar dijalankan secara mumi, artinya seluruh rakyat dapat diikutsertakan dalam memecahkan persoalan-persoalan negara yaitu seluruh rakyat dikumpulkan pada suatu tempat untuk diajak berbicara tentang persoalan kenegaraan. Demokrasi langsung ala Yunani Kuno. tidak mungkin dapat dilaksanakan lagi pada negara modern dewasa ini mengingat luasnya wilayah negara, rakyat tersebar diberbagai pelosok wilayah.
Kembali pada persoalan pengertian kedaulatan rakyat, Undang-Undang Dasar 1945 dengan tegas menganut asas kedaulatan rakyat (volssouvereiniteit). Sendi Negara itu tercantum dalam Pasal 1, ayat 2 : "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar." Ajaran kedaulatan yang dianut dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 adalah kedaultan rakyat. Ketentuan ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan kedaulatan itu tidak lain dan tidak bukan adalah kekuasaan negara yang tertinggi. Kemudian pengertian lain dari kedaulatan adalah wewenang tertinggi yang menentukan segala wewenang yang ada dalam suatu negara.
Dari kedua pengertian kedaulatan tersebut tadi, maka kedaulatan rakyat dalam makna pertama adalah kekuasaan negara tertinggi berada di tangan rakyat. Sedangkan pada pengertian kedua maka kedaulatan rakyat adalah rakyatlah yang mempunvai wewenang tertinggi untuk menentukan segala wewenang yang ada dalam suatu negara.

HALAMAN SELANJUTNYA .... 01, 02, 03, 04, 05, 06, 07, 08

Related Post