G. Gagasan Sistem Pemilu Ke Depan
Sistem pemilu sebenarnya
merupakan sesuatu yang penting, tetapi
hanya merupakan "satu aspek teknis" dari keseluruhan proses pemilu. Sistem pemilu hanya menunjuk
dua elemen dalam "ritual"
pemilu, yaitu : bagaimana teknik memilih dan bagaimana teknik penghitungan suara. Dalam kerangka ini, sekalipun perubahan atau perbaikan sistem
pemilu merupakan pekerjaan yang penting, tetapi ia bukanlah obat yang mujarab untuk menyembuhkan seluruh "borok" pemilu.
Sayangnya, dalam semesta
diskusi tentang sistem pemilu kerapkali
terjebak pada dikotomi dua sistem besar proporsional dan distrik tanpa masuk ke varian-varian kedua sistem itu. Artinya
perhatian terlalu banyak diarahkan pada
pembahasan sistem pemilu dan gagal melihat substansi. Padahal pemilu dengan sistem apapun, hanya merupakan instrumen untuk
mewujudkan pemerintahan yang
representatif dan legitimet dilihat dari sudut menegakkan demokrasi. Jadi
intinya terletak pada pembangunan demokrasi dan memaksimalkan fungsi
representasi. Oleh karena itu, jika
mau mencari sistem pemilu yang tepat, terlebih dahulu perlu dipahami makna
demokrasi dan fungsi representasi yang bagaimana
yang ingin diwujudkan.
Sekalipun ungkapan setiap
sistem punya sejumlah keunggulan
dan keterbatasan yang inherent tidak terbantahkan, akan tetapi derajat
keunggulan dan keterbatasan yang melekat dalam masing-masing berbeda secara
substansial. Pemahaman atas hal ini dapat dipakai sebagai sandaran dalam
"menolak" ataupun
"menerima" suatu sistem alternatif.
Sistem pemilihan distrik,
misalnya, bisa memproduksi derajat
keterwakilan yang tinggi. Dalam artian, ia menjanjikan kedekatan antara pemilih dan yang dipilih,
memangkas kekuasaan yang berlebihan
(penguasa) kekuatan politik yang sering
terjerat pada hukum besi oligarkhi, menihilkan peluang para calon karbitan, dan masih sederetan
"keuntungan" lainnya.
HanyasajadalamkonteksIndonesiadimanapolapenyebaran
penduduk yang dijadikan pondasi dasar bagi penentuan distrik nampaknya sangat timpang, yaitu persoalan
perimbangan Jawa-Luar Jawa di lembaga
perwakilan akan menjadi isu politik pelik yang tak gampang ditangani. Demikian
pula, kesenjangan kekuasaan dan dukungan basis material yang sangat tajam
antara perserta pemilu dapat
mengubah sistem distrik menjadi "liang lahat" bagi kekuatan politik minoritas atau
pinggiran.
Satu kelemahan lain yang
selalu dikaitkan dengan sistem
distrik ialah bahwa sistem ini kurang memperhatikan keseimbangan perwakilan berdasarkan golongan.
Hal ini karena yang
lebih diutamakan di dalam sistem distrik adalah adanya seorang atau lebih wakil dalam suatu distrik
pemilihan, yang ingin ditekan pada sistem distrik adalah setelah terpilih dan
duduk dalam lembaga perwakilan,
maka anggota partai telah menjadi "wakil
rakyat" bukan wakil dari suatu golongan.
Sementara itu satu faktor
yang sering disebut para ahli sebagai
keunggulan sitem proporsional atas sistem distrik, yakni keseimbangan perwakilan berdasarkan golongan.
Perbedaan kelebihan dan kekurangan
antara dua sistem tersebut, sebenarnya bersumber
pada perbedaan titik pandang, yaitu antara titik pandang kualitatif yang dianut sistem perwakilan distrik
dan kuantitatif yang dianut
sistem perwakilan proporsional.
Secara teoritis, sudut
pandang kuantitatif selalu menekankan pada
jumlah suara atau wakil yang diperoleh. Titik pandang ini dapat dikaitkan
dengan visi elite politik yang cenderung memusatkan
perhatian pada "keseimbangan" atau lebih tepat, "perolehan' kekuatan-kekuatan politik di
dalam pemilihan umum. Pandangan ini bertolak dari adanya suara yang tidak terwakili atau "hilang" di dalam sistem distrik, karena
calon dari partai tidak memperoleh kursi
dalam lembaga perwakilan.
Sebaliknya titik pandang
yang kualitatif lebih melihat masalahnya
dari sudut non elite, penekanannya bukan pada siapa yang memperoleh kursi dan bukan pula pada jumlah
suara yang terbuang karena tidak
dihitung itu. Yang dipentingkan oleh
masyarakat pemilih bukanlah golongan dari calon-calon yang memperebutkan suara, melainkan apa yang
dilakukan oleh para calon dan
partainya setelah menguasai kursi lembaga perwakilan. Kualitas itu diketahui
oleh rakyat pemilih, karena mereka
"mengenal" dengan calon-calon yang ada didistrik mereka. Secara
teoritis dapat dikatakan bahwa pemilih akan memilih calon yang mereka kenal, baik dari segi kemampuan
untuk mewakili mereka maupun moralitas dari para calon itu, dengan perkataan lain hanyalah calon-calon
yang mau dan mampu membawakan aspirasi
rakyat yang akan mendapatkan perhatian
para pemilih.
Dengan perbincangan sejauh
ini, memastikan bahwa sistem pemilihan
distrik belum merupakan pilihan ideal, terutama kalau mesti disandingkan dengan realitas Indonesia saat
ini. Kecuali tentunya, perangkat-perangkat
kelembagaan guna menjembatani
sejumlah persoalan yang melekat di dalamnya bisa diciptakan.
Pendek kata, setiap sistem
selalu mengandung kelebihan dan
kelemahannya sendiri-sendiri. Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Bahkan,
negara-negara yang tadinya menganut sistim distrik cenderung berusaha untuk
mengadopsi sistim proporsional, tetapi negara-negara yang biasa dengan sistim proporsional dan banyak mengalami sendiri
kekurangan- kekurangannya, cenderung
berusaha untuk menerapkan sistim distrik yang dianggapnya
lebih baik. Semua pilihan itu tergantung tingkat
kebutuhan riel yang dihadapi setiap masyarakat yang ingin memperkembangkan tradisi dan sistem demokrasi
yang diterapkan di masing-masing
negara.
Berangkat dari pembahasan di
atas, untuk menentukan sistem
pemilihan umum yang tepat, kata kuncinya adalah "Harus dilihat dulu apa
pengaruh dari penerapan sesuatu sistem pemilu terhadap prospek pengembangan demokrasi dan memaksimalkan fungsi representasi di lembaga-lembaga
perwakilan rakyat". Untuk
saat ini sistem pemilu yang masih relevan adalah tetap kombinasi antara sistem distrik dan sistem
perwakilan berimbang seperti
yang dikatakan oleh M. Ryaas Rashid. Hal ini sejalan dengan rekomendasi LIPI, bahwa sistem pemilu
di Indonesia sebaiknya tidak diterapkan
sistem proporsional murni maupun sistem
distrik murni, tetapi sebaiknya kombinasi dari kedua sistem tersebut dengan memanfaatkan kebaikan
masing-masing sistem dan mengeliminasi kelemahan masing-masing. Adapun caranya
bisa macam-macam, yaitu :
Pertama, menetapkan wilayah pemilihan, tapi jumlah
kursi yang diperebutkan dari
wilayah itu lebih dari satu. Pada saat yang
sama, juga ditetapkan adanya sejumlah kursi di parlemen yang diperebutkan oleh
calon-calon partai secara nasional (the nationwide constituency).
Kedua, menetapkan bahwa hasil pemilihan di satu
distrik hanya menghasilkan satu wakil dari distrik itu,
tapi sisa-sisa suara dari partai yang kalah
di semua distrik dihimpun secara nasional untuk kemudian dipakai dalam menetapkan jumlah wakil dari partai yang bersangkutan menurut satuan jumlah
suara yang disepakati. Dengan
demikian, dua tujuan dapat dicapai, yakni keikatan wakil rakyat dengan konstituennya, dan peluang partai kecil
untuk terwakili secara proporsional.
Ketiga, menetapkan daftar nama calon dari tiap-tiap
partai yang harus dipilih
bersamaan dengan pilihan atas partainya di
wilayah tertentu. Proses perhitungan suara terbagi atas dua tahap. (1) Perhitungan atas suara yang masuk
untuk partai-partai demi
menentukan beberapa kursi yang diperoleh suatu partai di wilayah pemilihan itu; (2) Perhitungan
suara untuk masing- masing
calon dalam partai, dimana para calon memperoleh suara terbanyak secara
berurutan akan ditetapkan sebagai wakil-wakil partai itu di parlemen.
HALAMAN SELANJUTNYA .... 01, 02, 03, 04, 05, 06, 07, 08