Sahabat Intrans Publishing,


Karya Kelompok Intrans Publishing
Setara
Intrans
Madani
Beranda
Empat Dua
Selaksa

Kamis, 26 Januari 2012


G.   Gagasan Sistem Pemilu Ke Depan
Sistem pemilu sebenarnya merupakan sesuatu yang penting, tetapi hanya merupakan "satu aspek teknis" dari keseluruhan proses pemilu. Sistem pemilu hanya menunjuk dua elemen dalam "ritual" pemilu, yaitu : bagaimana teknik memilih dan bagaimana teknik penghitungan suara. Dalam kerangka ini, sekalipun perubahan atau perbaikan sistem pemilu merupakan pekerjaan yang penting, tetapi ia bukanlah obat yang mujarab untuk menyembuhkan seluruh "borok" pemilu.
Sayangnya, dalam semesta diskusi tentang sistem pemilu kerapkali terjebak pada dikotomi dua sistem besar proporsional dan distrik tanpa masuk ke varian-varian kedua sistem itu. Artinya perhatian terlalu banyak diarahkan pada pembahasan sistem pemilu dan gagal melihat substansi. Padahal pemilu dengan sistem apapun, hanya merupakan instrumen untuk mewujudkan pemerintahan yang representatif dan legitimet dilihat dari sudut menegakkan demokrasi. Jadi intinya terletak pada pembangunan demokrasi dan memaksimalkan fungsi representasi. Oleh karena itu, jika mau mencari sistem pemilu yang tepat, terlebih dahulu perlu dipahami makna demokrasi dan fungsi representasi yang bagaimana yang ingin diwujudkan.
Sekalipun ungkapan setiap sistem punya sejumlah keunggulan dan keterbatasan yang inherent tidak terbantahkan, akan tetapi derajat keunggulan dan keterbatasan yang melekat dalam masing-masing berbeda secara substansial. Pemahaman atas hal ini dapat dipakai sebagai sandaran dalam "menolak" ataupun "menerima" suatu sistem alternatif.
Sistem pemilihan distrik, misalnya, bisa memproduksi derajat keterwakilan yang tinggi. Dalam artian, ia menjanjikan kedekatan antara pemilih dan yang dipilih, memangkas kekuasaan yang berlebihan (penguasa) kekuatan politik yang sering terjerat pada hukum besi oligarkhi, menihilkan peluang para calon karbitan, dan masih sederetan "keuntungan" lainnya.
HanyasajadalamkonteksIndonesiadimanapolapenyebaran penduduk yang dijadikan pondasi dasar bagi penentuan distrik nampaknya sangat timpang, yaitu persoalan perimbangan Jawa-Luar Jawa di lembaga perwakilan akan menjadi isu politik pelik yang tak gampang ditangani. Demikian pula, kesenjangan kekuasaan dan dukungan basis material yang sangat tajam antara perserta pemilu dapat mengubah sistem distrik menjadi "liang lahat" bagi kekuatan politik minoritas atau pinggiran.
Satu kelemahan lain yang selalu dikaitkan dengan sistem distrik ialah bahwa sistem ini kurang memperhatikan keseimbangan perwakilan berdasarkan golongan. Hal ini karena yang lebih diutamakan di dalam sistem distrik adalah adanya seorang atau lebih wakil dalam suatu distrik pemilihan, yang ingin ditekan pada sistem distrik adalah setelah terpilih dan duduk dalam lembaga perwakilan, maka anggota partai telah menjadi "wakil rakyat" bukan wakil dari suatu golongan.
Sementara itu satu faktor yang sering disebut para ahli sebagai keunggulan sitem proporsional atas sistem distrik, yakni keseimbangan perwakilan berdasarkan golongan. Perbedaan kelebihan dan kekurangan antara dua sistem tersebut, sebenarnya bersumber pada perbedaan titik pandang, yaitu antara titik pandang kualitatif yang dianut sistem perwakilan distrik dan kuantitatif yang dianut sistem perwakilan proporsional.
Secara teoritis, sudut pandang kuantitatif selalu menekankan pada jumlah suara atau wakil yang diperoleh. Titik pandang ini dapat dikaitkan dengan visi elite politik yang cenderung memusatkan perhatian pada "keseimbangan" atau lebih tepat, "perolehan' kekuatan-kekuatan politik di dalam pemilihan umum. Pandangan ini bertolak dari adanya suara yang tidak terwakili atau "hilang" di dalam sistem distrik, karena calon dari partai tidak memperoleh kursi dalam lembaga perwakilan.
Sebaliknya titik pandang yang kualitatif lebih melihat masalahnya dari sudut non elite, penekanannya bukan pada siapa yang memperoleh kursi dan bukan pula pada jumlah suara yang terbuang karena tidak dihitung itu. Yang dipentingkan oleh masyarakat pemilih bukanlah golongan dari calon-calon yang memperebutkan suara, melainkan apa yang dilakukan oleh para calon dan partainya setelah menguasai kursi lembaga perwakilan. Kualitas itu diketahui oleh rakyat pemilih, karena mereka "mengenal" dengan calon-calon yang ada didistrik mereka. Secara teoritis dapat dikatakan bahwa pemilih akan memilih calon yang mereka kenal, baik dari segi kemampuan untuk mewakili mereka maupun moralitas dari para calon itu, dengan perkataan lain hanyalah calon-calon yang mau dan mampu membawakan aspirasi rakyat yang akan mendapatkan perhatian para pemilih.
Dengan perbincangan sejauh ini, memastikan bahwa sistem pemilihan distrik belum merupakan pilihan ideal, terutama kalau mesti disandingkan dengan realitas Indonesia saat ini. Kecuali tentunya, perangkat-perangkat kelembagaan guna menjembatani sejumlah persoalan yang melekat di dalamnya bisa diciptakan.
Pendek kata, setiap sistem selalu mengandung kelebihan dan kelemahannya sendiri-sendiri. Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Bahkan, negara-negara yang tadinya menganut sistim distrik cenderung berusaha untuk mengadopsi sistim proporsional, tetapi negara-negara yang biasa dengan sistim proporsional dan banyak mengalami sendiri kekurangan- kekurangannya, cenderung berusaha untuk menerapkan sistim distrik yang dianggapnya lebih baik. Semua pilihan itu tergantung tingkat kebutuhan riel yang dihadapi setiap masyarakat yang ingin memperkembangkan tradisi dan sistem demokrasi yang diterapkan di masing-masing negara.
Berangkat dari pembahasan di atas, untuk menentukan sistem pemilihan umum yang tepat, kata kuncinya adalah "Harus dilihat dulu apa pengaruh dari penerapan sesuatu sistem pemilu terhadap prospek pengembangan demokrasi dan memaksimalkan fungsi representasi di lembaga-lembaga perwakilan rakyat". Untuk saat ini sistem pemilu yang masih relevan adalah tetap kombinasi antara sistem distrik dan sistem perwakilan berimbang seperti yang dikatakan oleh M. Ryaas Rashid. Hal ini sejalan dengan rekomendasi LIPI, bahwa sistem pemilu di Indonesia sebaiknya tidak diterapkan sistem proporsional murni maupun sistem distrik murni, tetapi sebaiknya kombinasi dari kedua sistem tersebut dengan memanfaatkan kebaikan masing-masing sistem dan mengeliminasi kelemahan masing-masing. Adapun caranya bisa macam-macam, yaitu :
Pertama, menetapkan wilayah pemilihan, tapi jumlah kursi yang diperebutkan dari wilayah itu lebih dari satu. Pada saat yang sama, juga ditetapkan adanya sejumlah kursi di parlemen yang diperebutkan oleh calon-calon partai secara nasional (the nationwide constituency).
Kedua, menetapkan bahwa hasil pemilihan di satu distrik hanya menghasilkan satu wakil dari distrik itu, tapi sisa-sisa suara dari partai yang kalah di semua distrik dihimpun secara nasional untuk kemudian dipakai dalam menetapkan jumlah wakil dari partai yang bersangkutan menurut satuan jumlah suara yang disepakati. Dengan demikian, dua tujuan dapat dicapai, yakni keikatan wakil rakyat dengan konstituennya, dan peluang partai kecil untuk terwakili secara proporsional.
Ketiga, menetapkan daftar nama calon dari tiap-tiap partai yang harus dipilih bersamaan dengan pilihan atas partainya di wilayah tertentu. Proses perhitungan suara terbagi atas dua tahap. (1) Perhitungan atas suara yang masuk untuk partai-partai demi menentukan beberapa kursi yang diperoleh suatu partai di wilayah pemilihan itu; (2) Perhitungan suara untuk masing- masing calon dalam partai, dimana para calon memperoleh suara terbanyak secara berurutan akan ditetapkan sebagai wakil-wakil partai itu di parlemen.

HALAMAN SELANJUTNYA .... 01, 02, 03, 04, 05, 06, 07, 08

Related Post